Senin, 24 Agustus 2009

PA’BUAKIANG

Di pulau yang membentang utara-Selatan 100 kilometer dan lebar kurang lebih 30 kilometer ini, angin barat dan angin timur dari laut, bisa menembus ke tengah-tengah pulau, mendaki Gunung Bontoharu dan menghitamkan kulit-kulit kami. Tapi kalau langit sedang cerah dan udara tenang, suara jo’ong dan pui-pui dari seberang bukit pun akan terdengar jelas.

Bersiap-siaplah kita pagi ini dengan baju, celana dan sendal terbaru. Rambut dilumuri dengan minyak kemiri dan disisir klimis. Hari pa’buakiang (pesta) adalah hari yang indah. Mungkin sama indahnya dengan hari raya. Ada banyak daging karena ampunna bua’ (yang punya hajatan) menyembelih dua ekor kerbau. Jangan lagi ditanya kalau masalah kanre jaha (kue-kue).

O,ya kalau bicara masalah terminologi atau asal kata penamaan kanre jaha, boleh kita menarik hipotesis bahwa mungkin saja orang selayar memberi nama sesuatu yang tidak ada di daerahnya sesuai dengan nama suku-bangsa pembawa “benda” tersebut. Taruhlah kue dinamakan kanre jaha ( arti harfiahnya = makanan orang jawa), karena barangkali kue atau kudapan manis diperkenalkan pertama kali oleh Orang Jawa yang datang ke Selayar tempo dulu. Kata lain seperti attolong jaha (duduknya orang jawa) istilah yang dipakai untuk duduk bersila, pun mungkin diperkenalkan oleh orang jawa. Sementara itu istilah lain seperti rompo’ japa’ang ( rumput jepang) untuk tali rafia, dan talle japa’ang (loyan jepang ) untuk loyan dari logam, pun barangkali memiliki sejarah kelahiran yang kurang lebih sama, yakni diperkenalkan oleh orang Jepang.

Undangan

Kita kembali ke pa’buakiang. Hajatan ini bakal ramai karena dua mempelai berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Keluarga mereka bertebaran di seluruh Nusantara. Saat saudara mereka di Selayar menikahkan anaknya, biasanya mereka balik dari perantauan atau paling tidak, mengirim perwakilan.

Namun ternyata ada juga yang tidak datang walaupun terbilang keluarga dekat dengan yang punya hajatan. Bukan karena tidak sempat, tetapi kadang karena persoalan “harga diri”. Asal tahu saja bahwa di kampung kami, cekcok dan permusuhan dengan saudara kandung sendiri bukan hal yang langka ditemui. Konflik tanah warisan boleh jadi penyebabnya. Menyeret saudara kandung ke meja hijau bukan perkara baru. Malahan ada yang tidak segan-segan memasukkan saudaranya di hotel prodeo alias bui.

Masing-masing pihak merasa benar. Maka mengundang saudara untuk hajatan atau mendatangi saudara yang punya hajatan, sama saja berdamai dengan orang salah, dan ini berarti meruntuhkan “harga diri” sendiri. Yang punya hajatan merasa tak butuh kedatangan saudaranya, sementara sang saudara yang menolak datang, kalau ditanya, mengapa tak datang padahal ponakannya menikah, ia menjawab sambil mencibir: Tak sudi aku! Kalau mau makan kerbau atau sapi, kan bisa beli di pasar…

Tapi percayalah bahwa tidak semua orang selayar memiliki tabiat negatif seperti itu. Karena memerangi bangsa sendiri bukankah sudah menjadi tabiat bangsa Indonesia? Dan masih jauh lebih banyak orang Selayar yang baik-baik.

Ada juga yang menolak datang walaupun sudah diundang karena “merasa tidak diundang”. Ini juga masalah harga diri. Apa pasalnya? Merasa masih keturunan opu anu, entah benaran entah cuma mengaku-ngaku, yang jelas ia tak mau datang sebab cara mengundangnya tidak disesuaikan dengan derajatnya. Istilah kerennya: nggak level dengan cara gituan. Ia tidak terima jika hanya diberi undangan kertas walaupun namanya sudah ditera besar-besar di atas amplop. Ia baru merasa diundang kalau ada sepasang atau dua pasang laki-perempuan berkopiah, berjas, berkebaya dan bersarung yang datang bersila atau bersimpuh sembari berkata, Ini kami datang kemari atas nama saudara kita yang akan menikahkan anaknya, untuk mengundang opu. Hari sabtu kerbaunya di sembelih. Hari minggu acara intinya. Singkatnya, Sang Opu baru merasa dihormati jika diundang secara lisan. Tak sudi diundang tulisan. Di samping masalah adat dan harga diri, mungkin saja karena Si Opu ini , buta huruf…

Kalau dibilang terlalu feodal, ini pun sekedar gambaran tradisi masa lalu, yang mungkin masih dipertahankan oleh segelintir orang dan makin luntur seiring datangnya modernisasi dan westernisasi.

Ammarenta

Dua malam yang lalu, Ammak bermalam di rumahnya yang punya hajatan. Membantu yang punya hajatan menapis beras dan memasak. Acara persiapan ini dinamakan ammarenta. Biasanya beberapa hari sebelum hari H, rumah yang punya hajatan sudah diwarnai kesibukan. Yang paling pokok adalah kesibukan mempersiapkan makanan. Pesta perkawinan di Selayar adalah prosesi sakral yang juga merupakan acara makan besar dan menjadi simbol gengsi bagi yang punya acara, sehingga demi suksesnya acara ini tak jarang yang punya hajatan tidak segan-segan menaggung utang.

Rumah empunya pesta ditambahi dengan bangunan tenda ke samping, ke belakang atau ke depan. Yang ke belakang atau ke samping adalah dapur, sedang yang ke samping atau ke depan biasanya diperuntukkan bagi tamu undangan.

Mari kita tilik ke dapur. Di dalamnya, perempuan-perempuan yang sedang ammarenta berleleran air mata dan ingus di depan tungku kayu. Bukan karena terharu sebab saudaranya atau orang sekampungnya sudah akan melepas masa lajangnya, tetapi karena matanya kepedihan asap. Ada juga yang duduk melingkar, memotong-motong sayur atau menumbuk bumbu. Inilah pekerjaan yang paling mereka nikmati. Sebab sambil bekerja itu, mereka bisa bergosip ria. Di acara ammarenta itulah kelakuan Si Baso ( kata ganti untuk anak laki-laki) dan Si Basse (kata ganti untuk anak perempuan) dipergunjingkan dengan riuh dan asyiknyanya. Acara ammarenta seketika menjadi pusat informasi, sekaligus pusat spekulasi dan analisis, tentunya versi ibu-ibu.

Di tempat lain, laki-laki sibuk membelah kayu bakar dengan kapak, memikul air dari sumur menanjaki bukit-bukit dengan simbah peluh, memasang janur kuning, atau segala pekerjaan yang lebih melibatkan otot. Setelah itu mereka duduk santai di atas kursi plastik berjejer, main domino, atau ngobrol panjang lebar tentang ladang, tanaman, anak istri dan keponakan sambil berkelakar menghirup kopi dan mengepulkan asap rokok. Sepertinya laki-laki memang lebih senang berkelakar ketimbang bergosip.

Attaraluk

Semalam ada acara attaraluk. Sepasang mempelai duduk berdampingan di atas ranjang di ruang tengah. Didupa-dupai mereka, diasapi dengan kemenyan, dan dibaca-bacai oleh guru masa ( tukang baca doa) atau pemuka kampung. Sesekali segenggam beras disimbahkan ke kepala mereka . Acara ini merupakan salah satu rangkaian prosesi pernikahan adat Selayar. Laki-perempuan, tua-muda dan anak-anak datang mengerubuni calon mempelai, ikut menyimbahi mereka dengan bulir jagung. Tapi penonton ini kadang kacau. Maksud semula menyimbahi calon mempelai, tetapi biasanya yang berkembang adalah, penonton yang saling melempari, mirip tawuran massal penonton konser musik atau supporter fanatik Liga Indonesia. Sambil melempari, mereka kejar-kejaran dan ketawa-ketawa.

Kalau amat-amati, acara ini ada miripnya dengan sebuah prosesi pernikahan dalam film India. Bedanya, “attaraluk india pakai tarian dan nyanyian, sementara attaraluk Selayar cuma diiringi instrumen musik tradisional seperti pui-pui (alat musik tiup dari tembaga), jo’ong (gong) dan ganrang (gendang).

Alat Musik Pengiring

Mari kuceritakan mengenai kelompok musik pengiring acara pernikahan ini. Kelompok musik ini adalah pemain musik bayaran yang telah dipersiapkan khusus untuk acara pernikahan . Biasanya mereka mengambil posisi di tambing (beranda rumah) atau dibuatkan tempat khusus di pintu gerbang masuk. Mereka terdiri dari empat orang pria berkopiah, berjas dan bersarung. Dua orang penabuh ganrang (paganrang), Satu orang peniup pui-pui (papui-pui) dan yang terakhir pemukul jo’ong (pajo’ong). Sebelum dimainkan, alat musik mereka didupa-dupai terlebih dahulu.

Dua paganrang meletakkan alat musiknya di pangkuan. Alat musik ganrang ini mirip bedug berukuran kecil dengan diameter kira-kira 30 sentimeter. Dua bagian sisi ditutupi kulit sehingga bisa ditabuh kedua sisinya. Namun hanya satu sisi yang ditabuh dengan stick yang terbuat dari kayu. Sisi yang lain dikeplak dengan telapak tangan. Maka bunyi yang dihasilkan kurang lebih begini : Tok! Tok! Plak! Tok! Tok! Plak!

Di sebelahnya adalah pajo’ong (pemukul gong). Gong yang dimainkan memiliki diameter kurang lebih 40 cm. Jo’ong diikat dengan tali dan digantung ke langit-langit rumah. Nampaknya pekerjaan menjadi pajo’ong ini adalah pekerjaan paling gampang (ini menurut persepsiku), karena Pajo’ong cuma sekali-sekali saja menghantamkan stick kayunya ke permukaan jo’ong. Saking gampangnya pekerjaan ini, kadang pajo’ong memejamkan mata lama sekali. Entah karena ngantuk, entah menikmati. Yang jelas, ia seperti memainkan jo’ong-nya sambil bermimpi.

Yang terakhir adalah papui-pui (peniup pui-pui). Inilah yang menurutku pekerjaan yang paling berat dan rumit. Berat, karena ia hanya menggunakan kekuatan hembusan nafasnya untuk meniup pui-pui gallang atau pui-pui tembaganya. Rumit, karena rasanya amat susah membayangkan bagaimana papui-pui bisa meniup alat musik sebesar betis orang dewasa itu selama berja-jam tanpa henti. Bagaimana mengatur nafasnya agar bunyi pui-pui tidak terputus, sembari mengatur melodi pui-pui melalui tiga buah tuts yang dimainkan dengan tindisan jari. Irama pui-pui inilah yang menentukan tempo permainan, apakah dipercepat atau diperlambat.

Sepanjang memainkan pui-pui, pipi paui-pui mengembang dan mengempis seperti balon kecil, tetapi lebih lama mengembangnya. Mungkin di dalam pipinya itu ia menyimpan semacam cadangan nafas sehingga bunyi pui-pui tak pernah putus. Matanya merem-melek, bahkan tak jarang melotot. Dan kalau melotot, papui-pui terlihat lucu sekaligus menyeramkan. Biji matanya seakan hendak meloncat keluar. Dilihat sekilas, papui-pui nampak seperti pawang ular kobra India.

Selain mengiringi prosesi attaraluk, instrument ini dipakai pula untuk menyambut tamu yang datang pada hari H. Perlu diketahui bahwa pengaturan tempo, ritme dan harmonisasi tiga buah alat musik ini tidak sembarangan. Kiranya para instrumentalis ini adalah para pemusik yang jeli melihat keadaan pesta. Ada yang namanya tunrung pamanca’, yakni tempo permainan dipercepat yang terkesan bergembira. Biasanya dilakukan sekali-kali untuk refreshing, atau menjelang dan sesudah prosesi attaraluk.

Ada tunrung bilang. Ini semacam tempo permainan resmi pada hari H untuk menyambut tamu . Namun tunrung bilang tidak sembarang dimainkan. Ini tergantung keadaan pesta. Jika misalnya yang punya hajatan tidak melayani tamu dengan baik. Taruhlah makanannya terlambat disajikan atau kurang sedap di lidah tamu, maka alih-alih mendengar tunrung bilang. Yang ada hanya tunrung yang terdengar serampangan. Tunrung bilang sendiri berasal dari kata, tunrung = tabuhan, dan bilang= terhitung, artinya tabuhan terhitung, dimana komparasi bunyi ganrang, jo’ong dan pui-pui hanya sesekali terdengar. Artinya ada waktu jedah dimana yang tersengar hanya bunyi ganrang dan pui-pui.

Tetapi jika terdengar bunyi jo’ong berkali-kali mengiringi ganrang dan pui-pui, maka itu bukan tunrung bilang. Boleh jadi ini adalah tunrung serampangan asal jadi yang kedengaran seperti mengejek yang punya hajatan. Ada yang berseloroh dan menamakan tunrung serampangan ini dengan istilah tunrung bakkak tumbung, karena bunyinya memang seolah-olah terdengar seperti seseorang mengucap kata : bak-kak-tum-bung bak-kak-tum-bung berkali-kali. Kalau diartikan, bakkak = besar, tumbung = ambeien. Dan jika digabungkan, tunrung bakkak tumbung berarti tabuhan untuk “Si Ambeien besar”. Kedengarannya mungkin lucu. Tetapi seperti inilah yang terjadi. Bunyi instrumen yang terdengar merupakan sederet harmonisasi yang menggambarkan keadaan pesta..

Pesta kali ini adalah pesta pernikahan. Maka pintu pagar dihiasi dengan janur kuning dan aneka jumbai berwarna-warni di mana-mana. Pesta dilaksanakan di dua tempat. Di rumah mempelai wanita dan di rumah mempelai pria. Tetapi biasanya rumah mempelai wanitalah yang lebih ramai, karena di rumah mempelai wanita pelaminan dipasang dan instrument musik dimainkan.

Pelaminan (lamming) dipasang di ruang tengah. Lamming dibangun dari tirai bambu berhiaskan janur kuning dan jumbai-jumbai kain yang bertahtahkan pernak-pernik mengkilap. Di dalamnya ada sofa, tempat duduk kedua mempelai menyambut tamu. Di kiri-kanan mempelai ada sepasang - dua pasang passappi’ ( pendamping) . Passappi’ mempelai wanita biasanya anak wanita yang diberi busana mirip mempelai wanita, demikian juga dengan anak laki-laki yang menjadi passappi’ mempelai pria.

Sekali waktu, ketika masih bocah, pernah juga aku menjadi passappi’. Pekerjaan menjadi passappi’ ini kelihatan gampang-gampang saja. Cuma duduk-duduk, sesekali berdiri dan bersalaman dengan tamu undangan. Namun mungkin karena monotonnya pekerjaan ini, maka satu-dua jam masih betah, tetapi lebih dari itu adalah, bete! Ini pekerjaan menjenuhkan nian. Betapa iri rasanya melihat teman-teman seusiaku bermain dengan bebas di luar sana, sementara aku sendiri terkurung di dalam lamming. Kadang telingaku dibikin panas bila ada yang datang mengolok-olok. Dijodoh-jodohkannya aku dengan passappi’ wanita. Rasanya malu sekali. Ya, memang di masa kecilku istilah pacaran atau accewek-cewek, adalah istilah tabu. Bisa timbul perkelahian jika ada yang dijodoh-jodohkan. Tak tahu bagaimana dengan anak-anak zaman sekarang.

Kalau hari cerah, angin tak berhembus dan cuaca panas, maka kedua mempelai ikut kepanasan di dalam lamming. Gerah cuaca dilawan dengan kipas angin atau kipas kibas yang digerakkan manual dengan tangan. Make up pengantin wanita meleleh. Jidatnya mengkilap. Senyam-senyum menyambut tamu. Nampaknya bahagia nian. Di sebelahnya mempelai laki-laki pun terlihat tenang-tenang saja. Amat bahagia lebih tepatnya. Walaupun tadi, sewaktu akad nikah, sempat meluncur keringat dinginnya sebesar bulir jagung lantaran demam panggung dan hampir tak kuasa mengucap lafaz ijab Kabul hingga terpaksa diulang beberapa kali.

Bahagia jika kasusnya adalah pernikahan suka sama suka, direstui kedua belah pihak dan tak ada paksaan satu sama lain. Lain lagi ceritanya dengan kasus perjodohan paksa atau pernikahan paksa yang banyak terjadi di zaman dulu-dulu. Yang merestui hanya keluarga, tetapi sepasang mempelai sendiri tidak saling mencintai. Maka tak ada keceriaan di dalam lamming. Yang ada hanya saling tak acuh dan kesenduan sepanjang waktu. Walaupun cuaca hujan, tetapi make up luntur jua. Bukan karena keringatan, tetapi karena disimbahi air mata. Apalagi jika kemudian sang pacar datang menyalami, menyerahkan kado sembari melantunkan lagu Caca Handika atau Ona Sutra. Ai…Ai, betapa menyedihkannya kisah percintaan sedemikian itu.

Namun bagiku, prosesi attaraluk, bunyi keplak ganrang, dentuman jo’ong dan buaian irama pui-pui yang mengalun tenang dan kadang seperti menyayat relung-relung hati itu, membuat aku selalu rindu dengan kampung halamanku, Selayar. Ada sensasi yang luar biasa di sana. Ia menggumpal dengan masa lalu, hingga bebunyian itu serasa mengalir di dalam darahku.

Seketika aku merasa berada dalam sebuah perpaduan budaya yang begitu runut dan kreatif. Jagung menandakan bahwa Selayar pun memiliki budaya agraris, walaupun sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut dan gugusan pulau. Dupa adalah sisa budaya animisme ketimuran. Ganrang mungkin diimpor dari Arab. Jo’ong dari Cina dan pui-pui dari India.

Sayangnya, sekarang ini pesta perkawinan di selayar sudah lebih banyak dimeriahkan oleh acara orkes dangdutan. Mungkin pula kelak orang-orang selayar lambat laun akan mengikuti budaya “orang kota”, menyelenggarakan pesta perkawinan di dalam gedung. Maka hilanglah lamming tirai bambu dengan segala kesederhanaan dan keunikannya. Hilang pula tomarenta karena ampunna bua’ lebih berpikir praktis dengan menyewa koki atau mendatangkan catering. Mungkin yang ada tinggal kenangan, seperti judul sebuah lagu. Itu pun kalau ada yang mau mengenang.

1 komentar:

  1. Terharu bacanya.. Insyallah hari minggu ini sy akan menikah dgn prosesi adat selayar ini ☺

    BalasHapus