Senin, 13 April 2009

Keping-keping Sejarah Selayar


Tulisan ini beranjak dari ketertarikan penulis akan sejarah, khususnya sejarah Daerah Selayar, tempat dimana penulis dilahirkan dan dibesarkan. Walaupun disiplin ilmu penulis bukan sejarah, tetapi menyadari bahwa sejarah merupakan bagian dari jati diri kita, maka melalui media ini, penulis ingin membuka semacam diskusi dan tukar pendapat dengan semua kalangan mengenai Sejarah Selayar.

Tulisan ini diberi judul keping-keping sejarah selayar karena sampai saat ini, penulis belum bisa mendapatkan referensi yang lengkap mengenai perjalanan Selayar mengarungi arus sejarah dari masa ke masa, sehingga penulis bersandar sepenuhnya dari data-data yang penulis kumpulkan dari beberapa buku, artikel di dunia maya, serta cerita dari para orang tua, hingga tentunya tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan siapa saja yang bergabung dalam komunitas ini agar memberi kritik dan melengkapi apa yang telah penulis paparkan, sehingga keping-keping sejarah Selayar yang entah di mana berada dapat kita padukan dengan utuh, karena dari kepingan demi kepingan itulah kita bisa melihat lebih jelas gambaran "masa lalu" kita, di mana kita berada kini dan ke mana kita akan melangkah membawa Selayar untuk menggapai hari esok yang lebih baik.

Selayar Purba

Sejak kapan manusia menghuni Pulau Selayar, penulis belum banyak tahu. Waterson Roxana, ketika meresensi buku berjudul The Green Gold-Economic History of the Indonesian Coconut Island Selayar karangan Christiaan Heersink pun mengakui bahwa belum pernah dilakukan studi historis yang intensif terhadap Pulau Selayar. Pada tahun 1932, seorang ilmuan Belanda bernama A.A Cense pernah melakukan peninjauan ke kampung-kampung pesisir barat Selayar dari utara ke Selatan, namun sampai saat ini penulis belum tahu apakah ia pernah melakukan ekskavasi di Selayar seperti yang ia lakukan di Ara pada tahun 1933, atau tidak. Ara adalah sebuah tempat di daratan Sulawesi Selatan yang berhadapan dengan Pulau Selayar. Selanjutnya, seperti apa dokumentasi yang ia terbitkan penulis juga belum tahu. Untuk hal ini, sekali lagi kita sangat memerlukan bantuan dari para sejarahwan dan orang-orang yang memiliki dokumentasi tentang itu.

Pada tahun 2004 ditemukan fragmen-fragmen tulang manusia di Leang Batu Tunpa yang berada di sebelah selatan pulau Selayar. Namun setelah diteliti dengan alat Accelerator Mass Spectrometry (AMS) oleh tim peneliti Australia-Indonesia Institute, disimpulkan bahwa fragmen-fragmen tulang manusia yang menunjukkan ciri mongoloid tersebut bukan tulang manusia purba melainkan manusia yang menghuni pulau ini pada era pelayaran sekitar abad 17 M.

Maka untuk sementara, barangkali ada gunanya jika dipaparkan beberapa hasil penggalian yang dilakukan para arkeolog dan sejarahwan di daratan Sulawesi Selatan dengan asumsi bahwa, jika memang pada zaman es Kepulauan Selayar menyatu dengan Daratan Sulawesi Selatan, dan sekiranya manusia-manusia purba di daratan Sulawesi Selatan sempat "menyeberang" ke Selayar, maka nenek moyang orang Selayar mungkin berasal dari manusia-manusia yang menghuni Leang Cadang, Bola Batu, Leang Karassa, atau Leang Batu Ejaya di daratan Sulawesi Selatan.

Adapun hasil pengidentifikasian tempat tinggal manusia purba beserta kurun waktu hidupnya di Sulawesi Selatan antara lain:

  1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan. Masa berburu dan mengumpulkan makanan terjadi pada sekitar tahun 200.000 sampai dengan 10.000 SM. Saat itu manusia yang menghuni daratan Sulawesi Selatan menetap di Gua Cabbenge dan hidup dengan berburu binatang, menggunakan alat dari batu seperti kapak perimbas dan alat serpih dari tulang.
  2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM). Pada masa ini populasi manusia purba menyebar ke beberapa tempat seperti di Soppeng (Leang Cadang), Toala, Bone dan Bantaeng (Leang Batu Ejaya). Alat yang mereka gunakan adalah alat serpih dari batu dan tulang.
  3. Masa bercocok tanam. Alat yang digunakan pada masa ini antara lain mata panah, beliung persegi dan kapak lonjong.

Seperti apakah gambaran manusia-manusia purba itu?

Dari hasil penggalian di Toala sendiri, D.A. Hooijer sendiri mengklasifikasikan manusia Toala ke dalam Homo Sapiens L. Hasil penyelidikan di Bola Batu, Leang Karassa dan Leang Cadang menggambarkan bahwa tubuh mereka kelihatannya tidak besar dan gigi mereka kecil-kecil. Kira-kira 2.700 buah gigi lepas yang berasal dari Leang Cadang mewakili populasi pada daerah tersebut dengan jumlah sekurang-kurangnya 267 orang. Populasi manusia purba di Sulawesi Selatan menurut mereka memiliki ciri yang berbeda dengan populasi di Jawa dan Sumatera yang kebanyakan memiliki ciri Austromelanesoid. Manusia purba Sulawesi Selatan sendiri memperlihatkan ciri Mongoloid yang ditunjukkan dengan gigi seri dan taring yang berbentuk tembilang. Sebagian besar gigi atasnya menimpa tepat gigi bawah pada gigitan. Mereka juga memperlihatkan gejala penyakit gigi.

Sementara hewan-hewan yang hidup pada masa itu, antara lain:

  1. Marsupialia (salah satu sub kelas hewan menyusui) - Phalanger urnisus temminck - Phalanger Celebensis gray - Phalanger celebensis callenfelsi
  2. Insectivora (hewan pemakan serangga) Suncus murinus L
  3. Primata (monyet) Macaca Maura Geoffr.et.F. Cuv
  4. Rodentia (hewan pengerat) - Lenomys meyeri jetinK - Rattus dominator Thomas - Rattus sp. Ef. Zanthurus Gray - Rattus sp. Cf. rattus L - Rattus sp.cf. Coelestis Thomas
  5. Carnivora (pemakan daging) Macrogalidia musschenbroekii meridionalis
  6. Artiodactyla (hewan menyusu berkuku genap) - Sus Celebensis Muller et Schlegel - Sus Celebensis Sarasinorum - Babyroussa babyroussa bolabatuensis - Anoa depressicornis Smith
  7. Archidiscorden Celebensis (jenis gajah katai putih)
  8. Stegodon Sompoensis (jenis gajah)
  9. Celebochoerus Heekereni (jenis Babi rusa)
  10. Ikan hiu
  11. Buaya.

Nah, apakah hewan-hewan ini yang diburu dan dimakan oleh nenek moyang kita?

Selayar Dan Luwuk dalam buku La Galigo

Disebutkan bahwa kerajaan-kerajaan awal yang berdiri di daratan Sulawesi Selatan antara lain, kerajaan Luwuk, Wewang Nriwuk dan Tompoktikka. Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompoktikka sendiri masih kontroversial keberadaannya. Kerajaan Luwuk berkembang menjadi ketua komuniti Bugis dengan wilayah meliputi Tana Ugi, sepanjang sungai Walenae, tanah pertanian timur, pesisir pantai Teluk Bone, semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bantaeng. Ini terjadi pada sekitar abad 12. Jadi pada abad itu, Selayar berada di bawah pengaruh Luwuk.

Boleh jadi gelar Opu dan Andi yang banyak terdapat pada nama orang-orang Selayar merupakan warisan dari Luwuk.

Bagaimana Luwuk masuk ke Selayar?

Dikisahkan bahwa dalam perjalanannya dari Cina menuju Luwuk, Sawerigading (lidah orang Selayar menyebut "Seheregading") bersama istrinya, I We Cuddai dan tiga orang puteranya, La Galigo, Tenri Dio dan Tenri Balobo singgah di pulau Selayar dan langsung menuju sebuah tempat bernama Puta Bangung dengan membawa sebuah nekara perunggu yang besar. Mereka lantas dianggap sebagai tomanurung (semacam keturunan dewa). Selanjutnya Tenri Dio diangkat menjadi raja Putabangung, sementara nekara yang mereka bawa masih tersimpan di Matalalang dan menjadi salah satu obyek wisata di Kabupaten Kepulauan Selayar. Masa ini dikenal dengan istilah Periode Galigo, yaitu periode kekuasaan manusia dewa yang mengatur tata tertib dunia dengan kepemimpinan religius kharismatik. Periode Galigo diperkirakan berlangsung sekitar abad 7 sampai abad ke 10 M, tetapi menurut Christian Pelras, periode ini terjadi pada sekitar abad 12.

Selayar di Era Pelayaran

Di masa lalu, Selayar pernah menjadi rute dagang menuju pusat rempah-rempah di Moluccan (Maluku). Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama Selayar berasal dari kata "cedaya" (Bahasa Sansekerta) yang berarti, satu layar, karena konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini. Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gajah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.

Selain nama Selayar, pulau ini dinamakan pula dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa. Di masa lalu, Pulau Selayar menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka. Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (abad 17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.

Selayar dan Kerajaan lain di daratan Sulawesi Selatan

Pada suatu ketika Raja Angangnionjo Tomaburu Limanna (Bone), ketika berkunjung ke Somba Opu bertemu dengan Opu Tanete (Selayar) yang datang menghadap raja Makassar untuk melaporkan bahwa ia membawa peti mayat yang berisi mayat jenasah putera Raja Luwuk bernama LasoE, yang mati akibat perahunya karam di Selayar. Raja Angangnionjo sendiri adalah pengganti raja Daeng Sinjai. Beliau memerintah Bone dari tahun 1597-1603. Sehubungan dengan itu, raja Makassar kemudian meminta kesediaan raja Angangnionjo untuk menemani Opu Tanete mengantarkan peti jenazah itu.

Dalam merancang pengusungan jenazah ini dicapai kesepakatan bahwa iring-iringan itu adalah irinmg-iringan kerajaan Tanete meskipun dikawal oleh Opu Tanete dan Raja Angangnionjo. Rasa persaudaraan kemudian timbul di antara keduanya dan atas persetujuan Raja Gowa, sekembali dari Luwuk mereka berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi pokoknya; Jika rakyat Angangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka dia menjadi orang Tanete, demikian sebaliknya. Dan jika armada Raja Angangniuonjo berada di perairan Tanete (Selayar), mereka wajib singgah walaupun tergesa-gesa, demikian pula sebaliknya.

Sejak saat itu, Kerajaan Angangnionjo diubah namanya menjadi Kerajaan Tanete. (Hal ini masih membingungkan penulis. Apa ini ada pula hubungannya dengan daerah Tanete yang ada di Bulukumba?)

Selayar Dan Buton

Di awal tahun 1500-an, ada raja dari Selayar bernama Opu Manjawari yang membantu Raja Mulae (Raja Buton V) mengusir kelompok bajak laut pimpinan La Bolontio yang saat itu menguasai Sulawesi bagian timur sampai Kepulauan Moro Filipina. Turut dalam pengusiran ini Lakilaponto, yang karena jasa-jasanya berhasil mengusir La Bolontio kemudian diangkat menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhrum atau Sultan Kaimuddin. Opu Manjawari sendiri diangkat menjadi Sapati pada tahun 1526. Demi mempererat persahabatan mereka, Opu Manjawari kemudian menikahkan Lakilaponto dengan salah satu puterinya. Cucu Opu Manjawari dari Lakilaponto Sultan Muhrum bernama La Sangaji di kemudian hari diangkat menjadi Sultan Kaimuddin III. Anak perempuan Opu yang lain bernama Banaka menikah dengan Raja Batauga. Lakilaponto juga menikahi anak raja Jampea dan memiliki anak bernama La Tumparassi yang kemudian diangkat menjadi Sultan Kaimuddin II.

Selayar dan Perdagangan

Christiaan Heersink menggambarkan bahwa komoditas perekonomian di Selayar pada abad 17, agak kurang diperhatikan. Namun marjinalisasi ini tidak serta mendatangkan ketidakberuntungan karena hal ini justru memungkinkan penduduk Selayar memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam merespon perubahan kondisi ekonomi. Kondisi tanah yang pada mulanya dianggap kurang cocok untuk berbagai komoditas pertanian, membuat orientasi terhadap perdagangan maritim menjadi pilihan utama bagi para penduduk. Ini sudah terjadi bahkan jauh hari sebelum pemerintah kolonial menduduki tanah ini. Namun ini juga bukan berarti bahwa Selayar tidak pernah memfokuskan dirinya pada industri pertanian. Pada abad 17 Selayar pernah menjadi pengekspor tekstil ke daerah-daerah kepulauan lainnya. Di abad 19, ketika pasaran tekstil mengalami penurunan akibat kalah bersaing dengan tekstil barat, Selayar beralih menjadi pengekspor kelapa dan teripang. Pada saat itu kelapa memang menjadi komoditas primadona dunia, sehingga pada tahun 1850-an, kapal-kapal orang Selayar telah berlayar ke Irian, Serawak dan Singapura. Pada tahun 1860-an, pemerintah Belanda pernah memperkenalkan tanaman kapas, kapuk, dan kopi yang terbukti gagal berkembang, akibat sedikitnya populasi penduduk yang bisa dipekerjakan untuk komoditas ini. Ketergantungan pada pertanian kelapa ini pula yang di kemudian hari menyebabkan perekonomian selayar mengalami kesulitan ketika terjadi krisis harga kelapa dunia di awal abad 20. "Emas hijau" yang dulunya menjadi primadona ini tak bisa diandalkan lagi bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk sekedar memenuhi tuntutan perut, banyak penduduk yang konon menyelundupkan tekstil ke daratan Sulawesi, bahkan terjadi migrasi penduduk secara besar-besaran dari Selayar ke daerah seberang. Ikut dalam migrasi itu adalah para tukang pasang gigi emas yang dulunya bisa mendapat untung banyak karena banyak orderan.

Bagaimana dengan para penduduk yang bertahan di Selayar sendiri? Kakek-nenek penulis sendiri bercerita bahwa pada masa itu terjadi paceklik. Orang Selayar yang tidak mampu membeli beras harus bertahan dengan menyantap ubi gadung dan biji mangga yang dicincang kemudian dikukus. Jika pengolahannya kurang sempurna, ubi gadung ini bisa membuat mabok. Sementara itu mereka yang merantau ke seberang, bekerja di perusahaan-perusahaan pengolahan kayu sebagai tukang gergaji dan sebagainya. Konon ada juga yang bekerja sebagai pedagang dan pelayan di hotel-hotel.

Selayar Pada Masa Pemerintah Kolonial Belanda

Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Barulah Kepala pemerintahan ke 88 dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar "Opu". Dan kalau memang demikian, maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki, Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen Bontobangung. Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu Lolo, Balegau dan Gallarang.

Selayar Pada masa Penjajahan Jepang

Di masa pendudukan Jepang, keresidenan diganti dengan istilah Guntjo Sodai dan Buken Kanriken. Masa penjajahan yang cuma berlangsung kurang lebih tiga setengah tahun hanya mengalami pergantian kepala pemerintahan sebanyak dua kali.

Bagaimana keadaan masyarakat Selayar pada masa penjajahan Jepang?

Kakek-nenek kembali angkat cerita bahwa Nippon pernah menyuruh mereka menanam jarak. Mereka juga dilarang makan nasi, walaupun mereka sendiri yang menanam padinya. Kalau mau makan nasi, harus pintar-pintar menyembunyikan padi. Karena jika ketahuan, maka habislah badan dirajah dengan cambuk atau pentungan. Selain itu, mereka juga dilarang menyalakan lampu di malam hari. Konon untuk menghindar dari intaian pesawat-pesawat Sekutu.

Penulis belum tahu benar tidaknya kejadian tersebut. Bangsa kate itu juga sempat mengajari mereka ber-taiso, ber-seinendam, dan bernyanyi. Nyanyian mereka berisi propaganda untuk membenci Sekutu, misalnya dengan lirik: Bangsa Inggris dan Amerika Musuh seluruh Asia