Senin, 24 Agustus 2009

OPU TA’GARANG

Esei

OPU TA’GARANG

Sudah tua laki-laki itu. Kalau berjalan harus disanggah dengan tongkat. Namun dapat ditaksir bahwa di masa mudanya, ia tidak begitu percaya diri mengandalkan otot semata untuk berhadapan dengan musuh. Karena sampai kini, di pinggangnya masih ada tergantung parang atau terselip badik. Tentu bukan untuk bertani, menebas ilalang atau menebang pohon, tetapi untuk berjaga-jaga dari incaran “musuh”. Musuh siapa, tidak jelas. Atau barangkali ini tidak lebih hanya sebuah nostalgia dengan kejayaan di masa lalu.

Kumisnya masih dibikin tumbuh melintang seolah-olah ingin mengatakan pada orang, “lihat, betapa masih sangarnya tampangku”, walaupun orang tentu tidak akan serta-merta takut dengan kumisnya yang sudah memutih karena uban itu. Alih-alih kelihatan seperti jawara. Ia malah Lebih mirip kambing tua yang dagingnya sudah kelewat alot untuk dijadikan hewan kurban- kambing yang menunggu mati digerogoti penyakit atau diterkam anjing kelaparan.

Jadi apa yang tersisa padanya kini tinggal kesan semata. Kesan yang dibuat-buat. Sebab jangankan orang dewasa, karena bahkan boleh dikata, bayi pun tidak akan takut padanya. Coba saja ditarik tongkatnya itu. Pasti dia akan jatuh bergedebum tak bisa bangun-bangun. Syukur-syukur kalau masih bisa merangkak. Mata rabunnya pun tidak akan bisa mengenalimu lagi.

Orang-orang tidak mengganggunya bukan karena takut atau segan, tetapi lebih karena kasihan. Ada yang berceloteh bahwa bisa saja gayanya itu dibuat-buat lemah, agar bekas-bekas musuhnya tidak tega menyakitinya. Coba saja selidiki kekuatannya kalau pas ia jalan lewat kuburan di ujung kampung sana. Amat disangsikan kalau ia tidak akan cabut sendal dan ambil langkah seribu dengan gagahnya.

Orang-orang memanggilnya dengan tambahan gelar “Opu” di depan namanya. Terkadang ada juga lidah-lidah jahil yang menambah-nambahi gelar kebanggaan ningrat di daerah kami ini menjadi “Opundok” yang artinya : Si monyet.

Kita kembali ke Opu yang satu ini. Baiklah, untuk mempermudah penceritaan ini, kita namai saja dia dengan nama : Opu Ta’garang.

Hidup Opu Ta’garang sekarang ini terbilang enak. Punya beberapa bidang tanah produktif berisi cengkeh dan kelapa. Dan yang istimewa adalah, setiap bulan ia menerima gaji sebagai bekas laskar pejuang yang kita istilahkan dengan : tunjangan veteran!

Kalau ditanyakan, apa ia memang turut berjuang membela RI di masa lalu, orang-orang cuma mencibir. Pejuang apaan, kata mereka. Ia malah lebih cocok dibilang sebagai kaki-tangan Nippon ketimbang pejuang. Syahdan, Opu Ta’garang inilah yang sering melapor ke Tuan Guntjo Sodai di Benteng bahwa Si Anu menyimpan beras. Aturan yang berlaku saat itu adalah orang pribumi tidak boleh makan nasi, walaupun beras itu didapat dari padi yang ditanam di tanah sendiri. Gara-gara mulut ember Opu Ta’garang ini, banyak orang yang diseret ke Benteng, diinterogasi dan dipukuli Nippon.

Apa yang ia punyai barangkali adalah, kemampuan bersilat lidah, sehingga ia tidak ikut disembelih dengan Nippon saat tentara republik datang. Boleh jadi pula kepahlawanannya itu karena salah penyelidikan. Memang tidak jarang karena salah penyelidikan, banyak kini bekas garong yang kita anggap sebagai bekas pejuang.

Atau apa karena ia seorang opu? Tapi Bukankan negeri ini dari dulu-dulu hingga sekarang, bisa jadi gawat karena para raja dan pemimpinnya yang duluan gawat. Kita bisa dijajah Belanda karena para raja terlalu gampang diadu domba dengan raja-raja lain setelah diberi sekantung emas atau dirayu-rayu dengan kekuasaan. Bukankah bukan cerita baru lagi jika para raja sering menghianati kepentingan rakyatnya dan balik menjilat-jilat kaki kolonial. Dan sekarang mereka menjelma menjadi para pemimpin yang menjilat-jilat (maaf) pantat kapitalis demi insentif, bantuan modal atau apa pun itu namanya?

Negara ini dibangun bukan hanya dengan mengorbankan darah para pemimpin tinggi dan para ningrat yang kemudian kita abadikan pada jalan dan gedung Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dan sultan baabullah karena, dengan tentunya tidak mengecilkan arti perjuangan para pemimpin ini, tak bisa kita pungkiri pula bahwa nama-nama mereka disanggah dan dibesarkan oleh para prajurit, para pahlawan dan rakyat jelata yang menjadi tameng musuh di garis depan, yang tidak kita ketahui siapa nama dan di mana mereka dikuburkan. Kita tidak kesalkan itu karena Pahlawan sejati tentunya hanya ada dalam catatan sejarah milik Yang maha Mengadili, yang bisa jadi akan dipajang pada jalan yang terpanjang dan terlebar kelak nanti di kota syurga. Kita cuma berusaha mengingat kembali bahwa betapa banyak pahlawan yang tidak terekam oleh sejarah manusia.

Tetapi cerita tentang Opu Ta’garang bukan cerita tentang kepahlawanan, heroism, dan semacamnya tetapi cerita tentang penghianat yang diberi bintang jasa. Cerita yang masih berlanjut hingga sekarang. Jika penghianat di zaman kumpeni dan pendudukan Nippon adalah kaki tangan kolonial, maka sekarang- di zaman nekolim (neokolonialisme), meminjam istilah Bung karno, para penghianat negeri ini tak bisa lagi dikotak-kotakkan sebagai ningrat atau rakyat jelata. Mereka bisa saja ningrat (pemerintah) atau rakyat jelata (swasta) yang tega mengorbankan kepentingan rakyat banyak demi kepantingan pribadi dan kroninya.

Opu Ta’garang duduk bersila. Ia keluarkan kotak tembakaunya. Sejumput tembakau diisi pada kertas rokok, dipilin dengan telapak tangan dan diselip di sela bibir. Berputar-putar rokok pilinan itu oleh permainan bibir dan lidahnya, dilem dengan ludah. Ujungnya disulut dengan lidah api dan menggumpal-gumpal asapnya.

Duduk dia dikelilingi anak-anak kecil. Apa yang ia ingin ceritakan kali ini, sama saja dengan kemarin. Dan kemarinnya kemarin. Tentang petantang-petentenganya di masa muda, di mana dia selalu menjadi jagoan dan heronya. Kenakalannya pada perempuan. Ilmu pelet. Menggertak orang sampai terkencing-kencing.

Sesekali memelintir kumis. Sesekali menepuk dada. Bicara masalah keberanian, tak ada satu pun yang dia takuti. Bicara masalah penderitaan, tak ada seorang pun yang lebih tersiksa dari dia. Masalah kenakalan, Uh.. kenakalan anak muda zaman sekarang tak ada setahi kuku pun jika dibandingkan dengan kebejatannya. Anehnya, jika bicara masalah kesucian jiwa, ia juga terbilang “hebat”, punya pengalaman spiritual didatangi malaekat jibril, bahkan masih sering bermimpi ketemu Nabi Muhammad. Dan pada akhirnya ia menyudahi dengan kata-kata : Jangan ditiru segala bejat yang kulakukan, tapi turuti “kata Tuhan” yang kukatakan.

Sayangnya manusia lebih tertarik untuk meniru daripada mendengarkan. Bukankah manusia lebih mudah belajar hal-hal yang praktis, yakni kenyataan yang nampak oleh dua biji matanya sendiri?

Maka berkoar-koarlah saja dengan segala macam aturan akhlak, moral, etika dan hukum di atas mimbar tetapi sepanjang ”Opu Ta’garang muda”, yakni para “orang tua- guru- pemimpin” masih saja korupsi, maka anak-anak mereka , murid-murid mereka, dan abdi-abdi mereka akan sami’na wa’ato’na, bahkan bisa berbuat lebih. Insya Allah mereka juga bisa berkata seindah mungkin tetapi berbuat sebejat mungkin.

Masukkan pula pelajaran moral tentang menjadi umat beragama dan warga Negara yang baik dalam kurikulum, tetapi sepanjang para “orang tua- guru- pemimpin” ini tetap bakhil, bermaksiat, dan durhaka maka saksikanlah apa yang terjadi dan kutukilah dirimu sebisa-bisanya jika kau memang masih punya akal sehat .

Dan kita lihat kenyataan maka kita tidak heran jika ada anak SMP berbuat mesum karena bahkan pejabat terhormat yang mestinya memberi contoh yang baik bagi masyarakat, pun ternyata kedapatan mesum. Jika para pelajar kita gemar tawuran karena yang mereka saksikan adalah tawuran di mana-mana, entah antara aparat dengan aparat atau pun antara aparat dengan rakyat biasa. Jika anak-anak muda kita mengelompokkan diri dalam geng-geng yang kerap membuat onar karena para pemimpin kita saja kerap mengidentikkan diri dengan geng partai masing-masing lalu gontok-gontokan di sana-sini, tanpa bisa meneladankan sikap bersatu dalam perbedaan, atau mengalah demi kepentingan orang banyak.

Tapi mudah-mudahan ini spekulasiku yang sama sekali tidak ilmiah atau tidak leih dari sebuah mimpi buruk saja. Karena yang kuharapkan adalah, Kuhajangan sampai ada Opu Ta’garang Muda di antara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar