Minggu, 30 Agustus 2009

JATUH BANGUN PERDAGANGAN EMAS HIJAU DI SELAYAR ANTARA TAHUN 1820-1950

Oleh : Christiaan G. Heersink

Alih bahasa : Andi Amrang amir

Di masa kolonial, banyak orang Eropa mengangap bahwa kelapa adalah tanaman para pemalas1. Namun untuk orang Indonesia sendiri, tanaman ini sangat menguntungkan, apalagi ketika industri-industri besar di Eropa pada awal tahun 1880-an menggunakan kopra (biji kering dari kelapa) sebagai bahan dasar produksi sabun dan margarin. Saat itu diperkirakan sepertiga kebutuhan kopra dunia dipasok dari Hindia Belanda. Kopra menjadi komoditas ekonomi yang penting di Indonesia timur. Pada tahun 1939, kopra memiliki prosentase sebesar 80 persen untuk komoditas ekspor wilayah Indonesia timur dan 60 persen dari total komoditas ekspor2.

Di beberapa wilayah di Indonesia, kopra dijuluki “The green gold” (emas hijau) 3. Orang-orang Eropa juga terlibat dalam pengolahan kelapa tetapi dalam jumlah terbatas. Pada paruh pertama abad 19, perdagangan kopra didominasi penduduk setempat dengan kisaran 94 persen, sementara pedagang cina menjadi pedagang perantara mendominasi perdagangan kopra level menengah.

Pentingnya kopra sering dicatat dalam literatur sejarah ekonomi Indonesia. Dimana analisis terhadap perluasan perdagangan kopra dikatakan kurang bisa terlalu dipahami, karena analisis yang ada saat ini masih seputar analisis level makro, yang memberikan informasi kuatitatif tetapi sangat sedikit menyebutkan dampaknya pada perdagangan lokal. Lagipula tidak jelas bagaimana perdagangan kelapa diorganisir dan bagaimana peran orang Indonesia, Cina dan Belanda yang mencoba melakukan penetrasi atau mengontrol perdagangan kelapa selama masa suksesi. Untuk memahami ini, tentu kita membutuhkan jelajah analisis level mikro.

Artikel ini akan mengulas perdagangan kelapa di Selayar, sebuah pulau di ujung selatan daerah Sulawesi selatan dimana perekomomiannya pernah didominasi oleh perdagangan kelapa selama dua abad. Pilihan dijatuhkan pada Selayar dengan dua pertimbangan:

Pertama, pulau tersebut telah memimpin perdagangan ekspor kelapa sebelum perdagangan kopra sehingga bisa dikatakan bahwa, pertumbuhan kelapa tidak sekedar orientasi substansi atau prioritas statis ketika berintegrasi dengan pasar dunia.

Kedua, pulau ini merupakan sedikit dari wilayah di Indonesia timur yang disurvey lebih intensif oleh pemerintah lokal selama goncangan Perang Dunia II dan pergerakan nasional Indonesia.

Artikel ini menggambarkan bahwa perluasan perdagangan kelapa mempunyai sebuah pengaruh yang penting bagi masyarakat Selayar, misalnya ketika kepemilikan kebun kelapa menjadi indikator utama mobilitas social. Integrasi perdagangan kelapa terhadap pasar dunia pada awal abad 20 menyebabkan hilangnya dominasi pedagang lokal walaupun mereka pun tidak lantas ter-subordinasi secara total. Sementara itu, orang-orang Eropa mengalami kesulitan untuk melakukan penetrasi terhadap perdagangan kelapa dan hanya berhasil sedikit sampai pasca 1930.

Artikel ini dimulai dengan pendahuluan singkat terhadap struktur sosial-ekonomi di Selayar. Setelah itu, perkembangan perdagangan kelapa di Selayar akan dianalisis dalam tiga bagian : Periode Sebelum Kopra ( 1820-1880), Tumbuhnya monopoli Cina ( 1880-1930) dan Periode depresi setelah kemunculan Coprafound( 1930-1950).

Penelitian ini sebagian besar mengambil referensi dari gambaran material Algemeen Rijksarchief Den Haag ( ARA), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta dan Makassar serta sejumlah wawancara di Makassar dan perjalanan ke Selayar dari bulan November 1990 dan November 1991. Kebanyakan wawancara tersebut berlangsung dalam bahsa Indonesia kecuali dengan beberapa orang selayar, dimana kami dibantu oleh Bapak Guru Arifin dan Andi Balasa sebagai penerjemah bahasa setempat.

Gambaran umum Tentang Selayar

Pulau selayar memiliki panjang 80 km dan lebar maksimal 13 km. Pulau ini terdiri dari pegunungan dan tanah gersang yang tidak bisa dipercaya akan dapat menumbuhkan tanaman, khususnya di bagian utara. Mayoritas penduduk beragama Islam. Di masa kolonial, makanan utama mereka adalah jagung yang ditanam di ladang (lahan tanpa irigasi) yang banyak terdapat di daerah-daerah perbukitan. Sementara itu beras didatangkan dari daratan Sulawesi dan sebagian kecil di daerah Sunda. Pada dasarnya, lahan yang paling banyak ditanami kelapa adalah daerah pesisir barat tetapi di pulau ini, di pucuk-pucuk bukit pun, tanaman kelapa tidak susah ditemukan.

Selayar memiliki jaringan ekonomi yang luas selama berabad-abad karena letaknya yang strategis dalam jalur perdagangan antara Makassar dan pulau-pulau di Indonesia timur misalnya di Maluku yang menjadi pusat rempah-rempah. Integrasi terhadap jaringan perdagangan ini kemudian menyebarkan pula komoditas Selayar yang lain seperti tekstil ( setelah tahun 1600) dan teripang ( sejak 1750-an). Pulau tersebut beralih dari kekuasaan Gowa ke Belanda setelah kekalahan Gowa dari kekuatan gabungan Laksamana Speelman dan Pangeran Bugis, Arung Palakkan tahun 1667.

Selayar merupakan daerah penyebaran orang-orang Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan dimana mayoritas penduduknya berbicara dalam bahasa dialek Makassar. Masyarakatnya memiliki ciri khas seperti di daerah-daerah tetangganya yang berada di antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan, yang menyebabkan terjadinya mobilitas sosial, dan di sisi lain, terjadi stabilitas struktur sosial6. Kekuatan politis tertinggi yang terpecah menjadi sekitar 10 distrik distabilkan oleh sederet intervensi Belanda, khususnya setelah awal abad 19.

Setiap regency dipimpin oleh seorang yang bergelar Opu, yang dipilih di antara Anak pattola (bangsawan tertinggi). Anak pattola ini dibentuk bersama-sama dengan anakkaraeng (bangsawan yang lebih rendah). Bangsawan Selayar terpisah jelas dengan strata yang lebih rendah, yakni orang kebanyakan dan budak8.

Status ini dilegitimasi oleh klaim kepemilikan kualitas luar biasa dari sumage (….), sebuah istilah yang diasosiasikan dengan potensi, isi jiwa( stuff) serta jiwa masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi selatan, yang hanya bisa diwariskan lewat keturunan dan diperkuat oleh hukum adat9. Status formal ini telah diseimbangkan dengan kekuatan aktual yang fleksibel dan terstruktur dalam hubungan perlindungan-pertemanan (patron-client) yang berdasar pada pola pengontrolan orang-orang yang berkuasa.

Kebangsawanan Orang Selayar diwujudkan dalam pekerjaan dari bawahan dalam masyarakat Selayar dan sebagai atasan, wajib melindungi bawahan dari kekerasan atau gangguan musuh. Aturan ini berlaku secara umum10. Bawahan selanjutnya membalas segala jasa segala bentuk kebaikan pelindungnya dalam bentuk imbalan ekonomi serta membantu atasannya untuk mewujudkan pengakuan politik. Atasan membutuhkan ini karena kekuatan setiap individu dan legitimasi posisi sosialnya akan segera diuji oleh para pesaingnya. Kegagalan dan keberhasilan melewati “ujian” tersebut akan menyebabkan ekspansi dan kontraksi terhadap para pelanggan, serta kebangkitan dan kejatuhan sebuah keluarga11.

Hubungan system dyadic (…) ini juga membentuk basis ekonomi. Yang terpilih akan menggunakan para budak dan debt bondsmen (..) untuk bekerja di ladangnya, di industri tekstilnya atau di perahunya. Semetara itu, di bidang pertanian, para pekerja akan mengambil bagian dari milik tuannya sebagai balas jasa dari tuannya. Penghapusan perbudakan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1860 di Sulawesi selatan tidak mengakibatkan “perpecahan ekonomi” karena para pekerja pada umumnya mendapatkan “perlindunagn” dari tuannya sehingga perbudakan masih saja berlangsung secara illegal sampai tahun 1920.

Keterlibatan dan perhatian orang-orang Eropa terhadap pengolahan kelapa sangat minim selama periode kolonial. Pada tahun 1849, L.M. F Plate, seorang utusan dari Nederlandsche Handel- Maatshappij(NHM) yaitu sebuah perusahaan Dagang nasional Belanda yang bertempat di Makassar menganggap bahwa kelapa merupakan salah satu komoditas yang sangat menguntungkan. Namun kebanyakan usaha orang Eropa yang mencoba mengolah kelapa mengalami kegagalan karena skema rasionalisasi yang mahal. Di samping itu mereka tidak memiliki akses terhadap para pekerja yang telah “dikontrak” oleh pengusaha setempat setidak-tidaknya 10 tahun sebelum panen pertama. Ini merupakan waktu yang terlalu lama untuk meraup keuntungan13.

Pengolahan kelapa yang dilakukan penduduk setempat sama halnya dengan produk ladang lainnya yang tidak terlalu memerlukan energi yang banyak. Setelah tahap penanaman, mereka punya banyak waktu untuk melakukan aktivitas lain. Inilah yang menyebabkan orang-orang Eropa menyebut kelapa sebagai tanaman orang malas. Menurut mereka, keuntungan dari perdagangan kelapa tergantung dari harga pasar dan bukan dari optimalisasi pengolahan14.

Periode Sebelum kopra (1820-1880)

Pada paruh pertama abad 19, perdagangan selayar terpusat di pesisir barat, dimana dapat ditemukan sekitar 5 atau 6 pusat perdagangan ( Dari utara ke selatan : Batangmata, Barugayya, Parak, Appabatu, Benteng, Padang, Tongke-Tongke- catatan penej). Pusat-pusat perdagangan ini memiliki komoditas dan jaringan dagang yang sama. Pengaruh Belanda berpusat di Benteng, sebuah daerah yang berada di tengah pulau. Di daerah ini, dibangun post pada awal abad 19, serta ditempatkan seorang Controleur dan Gezaghebber yang mengatur para Opu. Opu ini mengontrol kepala pemerintahan di bawahnya. Mulai saat itu ditetapkan aturan pembayaran iuran untuk ekspor dan impor yang terbukti lemah karena di luar Benteng, terutama di daerah-daerah bagian utara terjadi banyak penyelundupan. Sementara itu di pesisir timur, karena pantainya curam dan sangat sedikit tempat yang bisa dipakai membuang sauh, maka tidak cocok untuk armada dagang berskala besar15.

Pada abad 19, pemerintah Belanda merencanakan penarikan pajak perbandingan buah tiap pohon (fruit-bearing coconut tree) namun rencana ini baru terlaksana pada sekitar tahun 1900. Kebijakan ini dianggap sangat kompleks dan mahal sebab sistem perpajakan yang rill dan adil membutuhkan pegawai yang akan menakar jumlah pohon, mencatat siapa pemiliknya, mengontrol kematangan pohon dan sebagainya16.

Aktivitas Perdagangan penduduk setempat dibiayai dan diorganisir oleh penduduk setempat oleh sebuah sistem yang disebut modala (working capital)17. Biasanya pemilik kapal menyupali berbagai komoditas ke nahkoda (Kapten) Perahu yang memiliki beberapa anak buah kapal (sawi). Setelah mereka kembali dari pelayaran niaga mereka, maka modal dan sebagian keuntungan diserahkan kembali kepada pemilik kapal.

Ada dua jenis komoditas yang diperdagangkan waktu itu yakni : komoditas standar dan komoditas mewah. Komoditas standar adalah komoditas ekspor yang terdiri dari kain, kelapa dan minyak kelapa sementara komoditas mewah adalah barang-barang impor seperti beras dan tembakau. Ruang barang perahu biasanya diisi dengan berbagai komoditas yang beredar di pasar-pasar Selayar. Biasanya, komoditas standar bisa didapatkan dengan mudah di pasar-pasar setempat yang memiliki jaringan pasar dengan pusat perdagangan yang ada di daratan Sulawesi Selatan18. Sementara itu, komoditas mewah membutuhkan ruang tambahan di dalam kapal dan biasanya dilakukan oleh para pedagang antar pulau untuk jarak jauh.

Untuk Perdagangan jarak jauh sendiri, para pedagang memiliki pos sambungan yang bebas ( Far-flung network sattelite) dimana pedagang Selayar terhubung dengan pos perdagangan di Kampung Galange Singapura, serta di tempat-tempat lain seperti di Kalimantan, Jawa, Ambon dan Flores. Berbagai komoditas mewah seperti emas dan bahan-bahan perak diperdagangkan di luar pasar umum melalui jaringan personal. Dengan demikian, jaringan dagang komoditas mewah ini lebih bisa dikuasai ketimbang komoditas standar. Mereka juga bergabung dalam jaringan dagang yang membawa hasil hutan dan hasil laut dari Makassar ke Singapura dan membawa pulang komoditas lain seperti senjata, opium dan tekstil India dari Singapura dalam jumlah kecil.

Pengolahan kelapa menjadi penting pada abad 19. Pada periode tersebut, kelapa menjadi salah satu komoditas dagang yang penting. Bagi yang tidak memiliki kelapa, mereka turut memperdagangkan kain, beras dan jagung walaupun biasanya mereka tetap memiliki sejumlah pohon kelapa dalam jumlah kecil. Pada pertengahan abad 19, seorang pelancong jerman, Zollinger mencatat bahwa, perdagangan kelapa dan minyak hampir menjadi komoditas utama bagi kesejahteraan penduduk yang ia temui. “Kelapa bagi mereka sama pentingnya dengan padi di tempat lain”, katanya.

Pada pertengahan abad 19, perdagangan kelapa, minyak kelapa memainkan peran pada perdagangan tingkat lokal, antar pulau dan tingkat regional utamanya di pulau-pulau kecil21. Selayar mengekspor kelapa dan minyak kelapa ke daerah-daerah lain seperti ke daratan Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumbawa dan sebagainya. Dalam laporan Celebes and dependencies (South Sulawesi) tahun 1860 dinyatakan secara eksplisit bahwa, telah terjadi kekurangan stok kelapa di daerah-daerah tersebut kecuali Selayar.

Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memicu penyebaran pohon kelapa ke pulau-pulau lain dengan membawa bibit kelapa dari selayar. Paruh kedua abad 19 ditandai dengan bertambahnya perkebunan kelapa di seluruh kepulauan Indonesia, termasuk di Selayar sendiri. Tetapi selayar yang memimpin perdagangan kelapa menjadi terancam karena pulaunya yang kecil, sementara di kepulauan sebelah timur, potensi untuk ekspansi lebih besar.

Dengan bertambahnya jumlah perkebunan kelapa di selayar, maka proses akumulasi perkebunan kelapa oleh elit lokal pun dimulai23. Akumulasi (penimbunan) ini melibatkan kekerasan dan penggadaian yang berujung pada persengketaan kepemilikan tetapi dapat dicegah melalui perkawinan dan penerbitan land form division dalam bentuk warisan.

Selama abad 19, perekonomian Selayar mengalami proses moneterisasi, terutama setelah tahun 1863 ketika pajak suara (poll tax) diberlakukan. Biasanya kalangan bawah menggadaikan kebun kelapanya kepada penguasa untuk mendapatkan uang pembayaran pajak, dan kadang dipakai naik haji. Konstribusi terhadap proses akumulasi banyak terjadi di Selayar bagian utara. Orang-orang kehilangan lahan pertaniannya jika tidak bisa mengembalikan pinjaman, tetapi nampaknya kekuatan para elit terhambat oleh klaim kepemilikan asli.

Para Opu diberikan sebuah peranan kunci secara tidak langsung oleh pemerintah kolonial pada abad 19 untuk mengatur Selayar. Mereka sekaligus menjadi pegawai pemerintah kolonial. Di Makassar, pusat pemerintahan regional Belanda, bahkan telah mengizinkan pengangkatan dan pemberhentian mereka. Beberapa opu juga menjadi pecandu opium dan mereka makin tidak mampu mempertahankan posisi mereka dalam “contest state’26.

Pengawasan ketat dari Controleur Belanda kemudian menghalang-halangi praktek tradisional untuk mendapatkan kekuasaan, yang secara langsung menguji kekuatan lawan? Ketimpangan kekuasaan para opu ini meyebabkan meningkatnya ketegangan secara terus-menerus antara opu dan lawan tanding (rival) mereka yang member kesempatan pada orang-orang biasa untuk mendapatkan kekuasaan27.

Pada paruh kedua abad 19, akses untuk menguasai perdagangan jarak jauh meningkat dan dimonopoli oleh dua kelompok: kelompok haji dari Batangmata dan kelompok Cina dari Padang, sebuah perkampungan baru di tengah selayar. Setelah terjadi sederet konflik dengan opu mereka, Daeng Gassing dari Batangmata yang menganggap diri sebagai opu dan dilindungi oleh Belanda ternyata bisa memiliki kekuatan yang besar dalam kepemilikan sebagian besar dari perkebunan kelapa dan perdagangan jarak jauh. Bangsawan Batangmata, utamanya yang memiliki gelar haji28 memperoleh penguatan status diukur dari luasnya jaringan dagang dan juga sukses menjalin hubungan dagang dengan mereka yang beragama islam. Misalnya pada tahun 1880-an, Haji sekaligus pemimpin dagang yang paling disegani di Batangmata, Mohammad kasim, menjalin hubungan dagang langsung ke Singapura melalui agennya, Syekh Abdul wahid. Ia juga mempergunakan statusnya sebagai orang Islam asal selayar untuk melakukan kontrak pribadi dengan beberapa syarif (keturunan dari Rasulullah) di Mekah dan menjamin bahwa calon jemaah haji asal selayar akan menggunakan perahunya di Singapura dan agennya akan membantu jemaah haji Selayar menuju dan kembali dari Mekah29.

Pada tahun 1840-an, dengan dukungan Opu Bontobangung, untuk pertama kalinya pedagang cina menetap di Padang. Dipilihnya Opu Bontobangung sebagai pendukung bagi pedagang asing ternyata berhasil sebab Opu-opu yang lain sendiri akan lebih berpeluang sebagai musuh politik ketimbang kawan30.

Tjoa lesang (Baba Lesang) dan beberapa pedagang lain kemudian terlibat dalam perdagangan teripang dan menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Cina di Makassar serta mewakili beberapa perusahaan Belanda di sana. Selanjutnya mereka membentuk sebuah jalinan dagang yang penting antara Makassar dan pedalaman-pedalama di kepulauan sebelah timur, yang membawa produk-produk hutan dan produk laut dari Maluku dan Timor ke Makassar serta mendistribusikan berbagai komoditas lain ke Selayar dan daerah-daerah lain31.

Munculnya Monopoli Cina (1880-1930)

Perdagangan kopra menyebabkan meningkatnya produksi pengolahan dan perdagangan kelapa, tetapi keadaan ini pula yang menyebabkan terjadinya percepatan pola ekspansi yang dimulai pada akhir abad 19. Cara memproduksi kopra lebih sederhana ketimbang minyak kelapa32. Pengolahan kopra hanya membutuhkan pengeringan kelapa dengan cara diasapi sementara pengolahan minyak kelapa membutuhkan waktu dan proses yang lebih lama seperti pemarutan dan penanakan.

Kopra Selayar pertama kali diekspor ke Eropa melalui Makassar pada tahun 1880. Empat tahun kemudian baru kopra Selayar dikapalkan ke Tanah Jawa. Perdagangan kopra dan komoditas-komoditas dagang lain seperti kelapa dan minyak kelapa terjadi dalam beberapa dekade antara tahun 1880-1900, tetapi setelah tahun 1900, kopra menjadi komoditas yang dominan dan pada awal abad 20, perekomomian Selayar dalam keadaan krisis akibat ketergantungan pada ekspor kopra33. Untungnya perdagangan kelapa dan minyak kelapa tidak terlalu merosot sehingga kurang lebih bisa menjadi penopang ketika harga kopra merosot34.

Sebetulnya pedagang-pedagang dari Batangmata lebih duluan memulai ekspor kopra dibanding rival mereka, Pedagang-Pedagang Cina yang ada di pusat-pusat perdagangan bagian tengah pulau. Tetapi karena pedagang-pedagang cina memiliki akses modal dan distribusi yang lebih besar dengan perusahaan-perusahaan dagang Eropa di Makassar, maka pedagang-pedagan cinalah yang kemudian mendominasi alur perdagangan Selayar-Makassar36.

Pedagang-Pedagang Cina ini memiliki peranan penting dalam hirarki struktur dagang kopra di Indonesia tImur. Pentingnya Pedagang-pedagang Cina ini bagi orang Eropa diganbarkan dengan baik oleh seorang pelancong Inggris yang berkunjung ke Singapura pada awal abad itu dengan mengatakan bahwa, Perusahaan Dagang Eropa dan semua usaha dagang yang ada di timur tak akan mampu berjalan seminggu pun tanpa bantuan Orang Cina, baik itu mereka yang menjabat sebagai shroff, komprador atau pun juru tulis37.

Pada puncak hirarki dagang, ada beberapa perusahaan Eropa di Makassar yang mengatur pengapalan kopra ke Eropa. Kopra memiliki memiliki beberapa keuntungan dibanding minyak kelapa karena lebih tahan lama. Perusahaan-perusahaan Eropa ini memberi tambahan modal kepada pedagang-pedagang cina (tauke) yang bertugas mengumpulkan kopra dari area produksi yang tidak terjangkau oleh mereka. Untuk mengumpulkan kopra, para tauke mempekerjakan penduduk pribumi (papalele) yang juga terkadang menjadi produsen kopra yang diberi modal oleh tauke. Kopra untuk sementara akan disimpan di gudang baru kemudian diangkut dengan kapal uap milik Royal Packeboat Company (KPM)38 ke Makassar.

Keterlibatan penduduk pribumi dalam perdagangan kopra, berbeda-beda. Yang menjadi produsen biasanya lebih tertarik pada harga tinggi. Ketika harga yang ditawarkan pasar tidak sesuai dengan keinginannya, maka mereka akan menyimpan kopranya sampai harga yang terakhir, bahkan biasanya kembali mengolah minyak kelapa. Sementara itu seorang Papalele lebih memusatkan perhatiannya pada fluktuasi harga.

Pada saat harga kopra meninggi¸ Papalele tidak jarang mengalami kesulitan membeli semua kopra karena modalnya yang terlalu kecil sementara orang selayar lebih memilih menggunakan uang logam ketimbang uang kertas39. Ketika harga jatuh, papalele susah mendapatkan keuntungan karena perbedaan harga beli dan jual di Makassar40. Margin of profit ini kadang diperkuat pula oleh ketidak beruntungan jika berat kopra menurun saat dijual, yang biasanya menurun sampai 10 persen41.

Fluktuasi harga juga penting bagi para tauke yang lebih sering berspekulasi. Para tauke yang membeli kopra sampai berton-ton biasanya memilki keahlian tersendiri dalam menaksir prosentase kandungan air di dalam kopra, sehingga mereka pun memotong harga pembelian separuhnya jika ada kopra yang terlalu basah42.

Setelah kenaikan harga kopra yang lamban pasca Perang Dunia I yang sebelumnya sempat jatuh, maka pada tahun 1919 dan 1920, harga kopra kembali melambung dan menurun menuju kestabilan. Namun setelah beberapa waktu lewat dari tahun 1920-an, harga kopra perlahan turun. Harga tinggi terjadi akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran yang sempat membuat kesejahteraan para produsen kopra di Selayar meningkat selama dua dekade pada abad itu.

Pada tahun 1925, Van Setten menghitung laba bersih kopra di Minahasa yakni f 5 ( 5 gulden) tiap picul (61,7 kg) atau f 1 tiap satu pohon kelapa43. Saat itu, orang-orang Selayar menabung uang mereka sementara di Minahasa, para petani kopra cenderung memboroskan unag mereka misalnya untuk membeli mobil. Orang Selayar sendiri menginvestasikan uang mereka dalam bentuk gigi emas, kadang dipakai untuk biaya pernikahan, pendidikan atau ditabung. Pada tahun 1920, Controleur Baden memperkirakan uang cash yang tersimpan di selayar sampai tahun 1928 adalah sebesar 5 juta gulden dimana sejumlah besar tertdiri dari uang koin.

Pada abad 20, status sosial di Selayar ditentukan dengan kepemilikan pohon kelapa. Pernikahan di selayar dilakukan dengan pembayaran sunrang ( mahar) oleh keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai konsekwensi “pindahnya” mempelai wanita dari keluarga intinya. Di awal tahun 1880-an, sunrang biasanya terdiri dari sejumlah uang dan barang-barang mewah dan hanya sesekali dalam bentuk pohon kelapa.

Jumlah sunrang disesuaikan dengan status mempelai wanita. Pada abad 19, sunrang dalam bentuk pohon kelapa adalah 20, 40 sampai 80 pohon atau jika diuangkan sebesar f 2. Selanjutnya pada abad 20, jumlah pohon kelapa yang dijadikan sunrang berkisar antara 20, 40, 80 sampai 100 pohon45.

Mempelai laki-laki yang status sosialnya lebih rendah harus memperkuat status sosialnya dengan membayar sunrang lebih dari biasanya dan harus mempersiapkan sejumlah uang untuk biaya pesta pernikahannya. Pesta pernikahan adalah pesta dengan biaya termahal, terutama ketika harga kopra melambung. Pesta dilangsungkan di rumah mempelai wanita tetapi dibiayai oleh keluarga mempelai laki-laki. Tidak jarang keluarga mempelai laki-laki harus mengutang demi membiayai pesta pernikahan tersebut.

Pada abad 20, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha mempengaruhi masyarakat Selayar level bawah serta “menjinakkan” anak pattola dan anak karaeng yang saat itu memiliki kekuasaan politik dalam bentuk Opu. Di daerah Buki misalnya, keluarga yang berkuasa dan disegani, Luha Daeng Mangalle kehilangan hampir semua kebun kelapanya. Pemerintah memblokade akses mereka ke pemerintahan akibat aksi “kriminal” yang dilakukan oleh ayah Luha, Panenrang Daeng Remba. Kesalahan yang dilakukan Daeng Remba yang menyebabkan kekuatan politiknya melemah dan relasi ekonominya menjauh adalah, memboroskan hartanya dengan menggunakan uang kertas sebagai pembungkus tembakau!47

Kekayaan dan prestise orang selayar kemudian tergantung pada kepemilikan pohon kelapa atau seberapa bisa mereka memperdagangkan kopra. Sistem yang berlaku adalah bagi hasil dengan partner dagang mereka. Tak jarang kepemilikan pohon kelapa menjadi sumber pertengkaran yang dibawa sampai ke meja hijau karena orang-orang yang berkuasa, termasuk para Opu kadang dituduh memiliki kelapa secara ilegal49.

Sementara itu, tauke-tauke Cina memiliki pengaruh yang besar baik terhadp ekonomi makro maupun mikro di Selayar. Hubungan mereka dengan struktur makro maupun mikro yang berpusat di Makassar, berlangsung secara fleksibel. Para tauke yang bergabung dengan persekutuan dagang cina di Makassar, Siang Hwee memiliki hubungan dengan satu atau lebih perusahaan dagang Eropa di Makassar.

Mereka dapat menimbun kopra secara perorangan, namun biasanya mereka lebih sering bergabung dalam satu kongsi kerja sama orang-orang Cina yang memiliki bisnis dalam satu merek. Pada tahun 1910-an, kongsi dagang kopra yang paling berpengaruh di Selayar adalah Hap Tjoen & Co. perusahaan ini memiliki 4 orang anggota yangh berasal dari keluarga Oei Tjoan Goan dan Oei Hok Goan. Mereka bersaudara50

Pada tahun 1918, Hap Tjoan & Co mendominasi 75 persen ekspor Selayar, namun pada bulan april 1922, perusahaan tersebut bangkrut. Mungkin karena merosotnya harga kopra secara tiba-tiba setelah perang. Kebangkrutan terparah dialami oleh perusahaan Eropa yang mengalami kekurangan modal. Namun dengan segera, para pedagang cina kemudian memulihkan diri dari kebangkrutan mereka. Kwee Liem hong, salah satu anggota Hap Tjoen mulai aktif lagi berdagang kopra di selayar setelah sempat dipenjara selama beberapa bulan.

Liem Hong adalah seorang pedagang yang pintar dan memiliki kontak pribadi dengan Selayar. Sebagai wakil manager dari perusahaan Tiong Seng ia mulai mengumpulkan kopra, sementara itu saingan terberatnya adalah Jo Tjoe Tjae dari perusahaan Oei Seeu wen & Co.

Pada tahun 1924 Kwee Lim Hong menguasai 80 persen ekspor kopra Selayar sedangkan Jo tjoe Tjae menguasai 20 persennya. Ini menyebabkan meningkatnya harga kopra di selayar secara besar-besaran dan renggangnya hubungan antara dua pedagang ini sampai akhirnya dibuat perjanjian bahwa Jo tjoe Tjae akan menunda penjualan kopra Selayar selama beberapa bulan sebagai ganti pembayaran sebesar f 1000 tiap bulan.

Kwee lim Hong menjadi Raja Kopra Selayar seperti pedagang kopra Cina lain di Sulawesi51. Sementara itu Jo Tjoe Tjae meninggalkan perdagangan kopra sama sekali setelah perjanjian tersebut dan pembagian pasar diserahkan kepada Go Ke Hong lalu dilanjutkan oleh Baka Oto ( N. V. Yet Thiong)52. Pada tahun 1928, Kwee Lim Hong kembali mengalami kebangkrutan dan bangkit lagi pada tahun 192953.

Hubungan dagang antara pedagang-pegangan Cina dan orang-orang Selayar relative baik. Sebelum tahun 1930-an, peranakan Cina ( keturunan Cina yang lahir dari pembauran dengan penduduk setempat dan dijuluki “Baba”) mendominasi perdagangan kopra Selayar. Kwee Lim Hong (panggilan : Baba Lihong) adalah salah satu di antara mereka. Baba Lihong menikahi salah satu perempuan di kampung Bitombang sampai akhirnya mendominasi perdagangan kopra54.

Baba Lihong nampaknya sangat populer di Selayar. Walaupun bukan muslim, ia membiayai pembelian kayu untuk atap bangunan mesjid di Bitombang dan memiliki hubungan baik dengan Opu Bonea, Opu Muhammad Daeng malewa55. Di tahun 1920-an ia menjadi kreditor terbesar di Selayar. Sebagai bayaran dari piutangnya, ia mengambil hasil panen sebelum hutang dilunasi56.

Sementara itu di daerah lain seperti Minahasa, pinjaman hutang berlangsung dengan bunga tinggi dan berakhir dengan kehilangan kebun kelapa ketika mereka tidak mampu membayar hutang, sehingga kreditor beralih menjadi pemilik kebun kelapa. Kasus seperti ini banyak terjadi ketika berlangsung depresi ekonomi awal tahun 1930-an pada saat harga kopra jatuh57. Namun di Selayar, hal seperti ini tidak pernah ditemui. Mungkin karena orang Selayar yang pandai menabung. Pun karena para kreditor Cina lebih suka menerima bayaran hutang dari hasil panen ketimbang berusaha memiliki kebun kelapa58.

Pemerintahn Kolonial sendiri hanya bisa terlibat secara tidak langsung, misalnya dalam hal registrasi yang tidak selamanya berlangsung efektif karena terjadinya konflik rasionalisasi ekonomi antara pemerintah kolonial, pedagang perantara dan produsen kopra. Intervensi pemerintah kolonial terhadap perdagangan karet nampaknya tidak bisa segencar perdagangan kelapa karena hilangnya kepercayaan penduduk terhadap pemerintah kolonial yang ingin melobi59.

Kualitas kopra di Makassar yang kadang-kadang rendah sehingga harganya lebih rendah dibanding daerah lain menyebabkan Gubernur H.N.A Swart yang saat itu memerintah Celebes merasa keberatan. Ia mengangap telah terjadi penyalahgunaan dalam perdagangan kelapa dan kopra di selayar sehingga pada tahun 1906 ia menerbitkan ordonansi tentang pembentukan Klappakeur dan Coprakeur60 ( Inspeksi kebun kelapa dan inspeksi kopra).

Klappakeur menitikberatkan pada inspeksi pengolahan kelapa secara umum misalnya tentang pembersihan kebun dari hama. Namun inspeksi ini justru menimbulkan kebencian orang-orang Selayar terhadap pegawai pemerintah yang mengatakan bahwa orang-orang selayar menanam pohon kelapa dengan jarak yang terlalu rapat sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara pohon dan hasil. Di samping itu orang selayar pun menolak menebang pohon kelapa yang sudah tua. Banyak orang Belanda tidak paham bahwa jumlah pohon kelapa sangat penting bagi orang Selayar karena menunjukkan jumlah sunrang61.

Sementara itu Coprakeur ditujukan untuk meningkatkan kualitas kopra yang sering hitam karena terlalu lama diasapi atau terlalu basah. Tetapi inspeksi ini pun tidak efektif karena biasanya harga kopra bukan ditentukan oleh kualitasnya tetapi kuantitasnya. Kualitas kopra yang baik adalah yang kering, namun ini membutuhkan waktu yang lama dalam pengolahannya, dan harus dijual dalam jumlah yang banyak untuk mendapatkan keuntungan besar. Itu sebabnya penduduk setempat menjual kopra kering nanti ketika harga kopra jatuh, ketika terjadi perbedaan harga yang tajam antara kopra kering dan kopra campuran (campuran yang basah dan kering-penerj)63. Maka usaha quality control yang dilakukan pegawai inspektor atau yang disebut mantri kopra biasanya tidak efektif pada saat booming kopra, karena pedagang menengah lebih memperhatikan jumlah ketimbang kualitas64. Pemerintah Belanda menganggap aktivitas pedagang perantara, terutama pedagang cina sebagai penghalang meningkatnya kualitas kopra dan merugikan penduduk setempat.65

Pada akhir tahun 1920-an, pemerintah kolonial mencoba mengurangi kekuatan para pedagang perantara dengan melakukan standarisasi berat agar tidak terjadi ketimpangan harga, dan mencoba menyediakan informasi mengenai perdagangan kopra, yang sebelumnya dimonopoli oleh Baba Lihong Dan Go ke Hong66. Pada masa-masa ini memang terjadi ketimpangan informasi serta perselisihan tajam antara produsen kopra lokal (papalele) dan perusahaan dagang Eropa. Papalele, dalam menjalankan tugasnya untuk tauke tidak tahu banyak tentang macroekonomi dan jarang ke Makassar. Ini digambarkan melalui wawancara dengan papalele yang masih merasakan resesi di tahun 1930-an akibat pecahnya Perang dunia.

Sementara itu, perusahaan pengekspor pun sering kehilangan informasi terpercaya mengenai kondisi lokal daerah terpencil. Swets, salah satu pekerja Belanda di Oliefabrieken Insulinde, mengatakan dalam laporannya bahwa, Agen Adelink, walaupun telah menjadi Residen di Makassar selama 25 tahun, tidak pernah mengunjungi kebun-kebun kelapa di Maluku. Ia mengatakan :

“Yang kami amati, Perhatian Mister Adelink tentang wilayah-wilayah produsen kopra hanya bersandar pada kabar angin, dan tentunya juga mengenai keadaan orang-orang di sana sehingga ia gagal mengamati kebutuhan objektivitasnya”67

Pedagang-pedagang dari Batangmata juga bersaing dengan tauke-tauke Cina dan KPM. Pedagang-pedagan ini telah kehilangan peranan penting dalam perdagangan jarak jauh sejak KPM mengumpulkan dan mendistribusikan berbagai komoditas dagang dengan kapal uap. KPM, yang memiliki rute terjadwal dan juga rute tak terjadwal, mencoba mengambil semua rute transpor rempah-rempah di Sulawesi selatan. Namun upaya ini sedikit macet apabila datang angin timur, sehingga pada saat itu, mereka terpaksa mengurangi muatan. Kesempatan ini dipergunakan para pedagang Selayar dan pedagang dari Sulawesi selatan lainnya untuk membawa kopra ke Makassar dan ke Surabaya.68

Para pedagang haji yang masih menggunakan sistem modala, mengurangi jumlah muatan lain dan memasok lebih banyak kopra serta mengembangkan sistem perdagangan yang lebih luas, misalnya memuat berbagai barang dagangan dari toko-toko di Surabaya, berlayar dengan angin barat awal ke Bali untuk memuat tembakau, mengambil kain di Selayar dan berlayar ke Maluku, lalu kembali ke Selayar dengan membawa hasil hutan dari Maluku dengan angin timur.

Membangun kembali Perdagangan kopra (1930-1950)

Pada tahun 1930-an, terjadi depresi ekonomi dunia yang disertai menurunnya produktivitas kopra akibat penyakit dan usia pohon kelapa yang sudah tua. Ini menyebabkan memburuknya perdagangan kopra di Selayar sekaligus menandai era baru perdagangan kopra di selayar70.

Setelah tahun 1929, perdagangan dunia menurun secara drastis dan makin nampak ketergantungan orang-orang Selayar pada perdagangan kopra. Mereka yang menetap di tengah pulau sebagai pekerja di kebun-kebun kelapa atau sebagai buruh kasar dalah perdagangan kopra menjadi korban pertama. Upah mereka dikurangi. Sementara itu, para pemilik kebun kelapa yang luas, menunda produksi kopra dengan harapan, harga kopra akan membaik. Produksi panen akhirnya tertunda selama bertahun-tahun.

Melambungnya harga kopra yang pernah membuat orang selayar mengkonsumsi beras impor yang mahal dan ladang-ladang yang kebanyakan telah ditanami kelapa membuat produksi pangan sulit dilakukan. Banyak orang selayar yang kemudian bertahan dengan cara lama, yakni membuat minyak kelapa dan menenun kain. Sementara itu pemerintah Belanda mencoba melakukan diversifikasi ekonomi selayar dengan menggalakan tanaman lain seperti jeruk71.

Para bangsawan tetap menguasai kepemilikan kelapa pada tahun 1930-an72. Di antara para bangsawan ini, ada yang membagikan kebun kelapa tersebut sehingga kebun-kebun kelapa akhirnya jatuh ke tangan orang-orang kaya yang stratanya lebih rendah. Papalele yang beruntung adalah, Tunru Daeng Sagala, bangsawan rendah dari Parak (masuk dalam Regency Bonea). Ia membeli kebun kelapa antara tahun 1916 sampai 1924. Statusnya sosialnya pun dianggap telah meningkat karena menyerahkan puterinya, Mariama untuk dinikahi oleh Abdul Halim, putra Opu Muhammad Daeng Malewa dari Bonea, opu yang terkaya di Selayar.

Selama dan setelah Perang Dunia II, Masariki, putra Tunru Daeng Sagala dan pedagang cina bernama Ance Poa dari Batangmata memperoleh bagian penting dari kepemilikan kebun kelapa ketika putra Malewa, Tjinrapole menjual semua kebun kelapa milik ayahnya73.

Posisi bangsawan-bangsawan ini semakin terancam ketika aktivis-aktivis Muhammadiyah mengkritik adat, terutama dalam pembayaran sunrang sebesar f 2,50 tanpa peduli status yang mana. Ini pun menyebabkan goyahnya sistem strata di Selayar74.

Pada tahun 1930-an, cina peranakan kehilangan kendali terhadap perdagangan kopra yang mulai diambil alih oleh pedagang Cina totok yang merupakan pendatang baru. Pedagang cina totok ini adalah pelarian politik dan ekonomi dari negara asal mereka akibat perang sipil antara Kuomintang dan komunis serta Perang Cina-Jepang.

Ketika terjadi depresi ekonomi banyak perusahaan cina peranakan yang jatuh bangkrut akibat dari teknik spekulasi mereka. Para Cina totok, oleh orang Selayar, digelari Ance75. Mereka datang tanpa memiliki apa-apa melalui Singapura, Medan dan Makassar. Mereka kemudian bergabung dalam perdagangan enceran dengan didanai oleh cina peranakan. Setelah memiliki sejumlah modal, mulailah mereka berbisnis dengan modal sendiri.

Cina totok yang paling sukses dalam perdagangan di Selayar adalah Oei Ek Tjoang ( Ance Beru). Ia adalah importer barang-barang toko yang paling penting di Selayar. Kekuatan posisi ekonominya membuat ia mampu membantu perusahaan dagang Cina di Makassar dan mendanai perdagangan kopra tingkat lokal pada tahun 193776.

Pada tahun 1930-an, Kwee Lim Hong tetap aktif berperan tidak langsung dalam perdagangan kopra. Nampaknya ia tidak memiliki akses pinjaman dari Makassar, bahkan bekas papalelenyalah yang membiayai pendidikan puteranya, Baba Siang di Bandung. Papalele-papalele inilah yang juga melanjutkan perdagangan kopra dengan mengirim kopra pada atasan mereka, para Cina di makassar77. Kwee Lim Hong lalu menjadi penasehat bagi bekas papalele-nya.

Setelah Baba Siang menyelesaikan pendidikannya, ia menjadi pedagang perantara dari Selayar ke Makassar. Saat itu gap antara level perdagangan kopra mikrp dan makro semakin tajam.

Beberapa cina totok juga terlibat langsung dalam perdagangan kopra. Mereka tinggal menyebar sepanjang pesisir barat dengan mengimpor kain dan menampung kopra. Di daerah-daerah ini terjadi kompetisi yang sehat.

Dua cina totok, Ance Tonga ( Loe Boen Thoeng) dan Ance Poa (Ho Ke Po) yang memiliki hubungan kerabat jauh, bahkan tinggal di Batangmata, yang merupakan daerah basis kekuatan pedagang haji79. Sementara itu di Benteng, menetap saudara dari Go Ke Hong ( meninggal tahun 1930), yakni Ance Honga ( Go Ke Ho) yang bersama sepupu Ance Poa melanjutkan kerja sama dengan Baka Oto.

Harga kopra tidak menunjukkan perkembangan yang berarti selama tahun 1930-an seiring munculnya industri minyak yang besar, Unilever, sebagaimana yang digambarkan oleh Brookfield:

“Bisnis kopra seketika mengalami ketergantungan pada organisasi tunggal, unilever yang merancang pengembangan teknis dalam menggabungkan jenis minyak yang berbeda dari berbagai lemak untuk menekan pembelian dan efisiensi harga produksi82. Faktor penting yang lain adalah pembatasan perdagangan di eropa dan Amerika Serikat yang mencoba mencegah ekspor kopra dari Negara sekutu mereka”83.

Posisi perdagangan kopra yang berbahaya bagi penduduk setempat pada tahun 1930-an ini membuat Pemerintah Belanda tidak sanggup mengembangkan perdagangan kopra di Indonesia Timur walaupun melalui penerapan sentralisasi dan sistem regulasi pembelian.

Pecahnya Perang dunia II kemudian menyebabkan kondisi ini menyebar lebih luas. Pada tahun 1940, ketika tidak mungkin dilakukan ekspor ke Eropa, sebuah pembeli bernama Coprafound muncul. Coprafound mengatur pembelian dan penyimpanan kopra, melakukan standarisasi kualitas dan pengepakan, serta menerbitkan harga kopra secara berkala kepada produsen. Pemerintah Belanda akhirnya memiliki sebuah instrumen untuk mengontrol dan meningkatkan kualitas kopra sesuai keinginan mereka.

Setelah kehancuran akibat pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai 1945, semua kopra yang berasal dari Selayar harus diekspor ke Makassar dan dijamin dengan harga yang stabil. Namun setelah perang, perahu-perahu dari Batangmata dan daratan Sulawesi mulai menyelundupkan kopra ke Surabaya dan ke Singapura karena di kota-kota ini, harga kopra sering lebih tinggi. Di samping itu, coprafound tidak sanggup mengangkut semua kopra yang terkumpul akibat kurangnya kapal uap pasca perang sehingga kopra harus disimpan selama berbulan-bulan di Selayar.

Tidak hanya pemerintah Belanda yang memperkuat peranannya dalam perdagangan kopra setelah masuknya Coprafound, tetapi penduduk setempat di Sulawesi selatan pun menguatkan posisi mereka, saat Coprafound berusaha melemahkan posisi pedagang kopa Cina. Kondisi yang tidak aman akibat pergerakan kemerdekaan memaksa pedagang cina untuk mengalah dan membatasi aktivitas dagang kopra mereka dan beralih menjadi peminjam modal bagi pedagang setempat.

Munculnya Coprafound kemudian membuat penduduk setempat juga tidak bisa menjembatani celah (gap) antara perdagangan Selayar dan Makassar. Mereka akhirnya menempuh cara lain. Papalele Selayar bernama Lihing, misalnya membangun hubungan dekat dengan saudaranya, Muluk sebagai perwakilan di Makassar. Hubungan yang sama dulakukan pedagang kopra asal Mandar, Haji Abdoe Mas’oed Daoed, dengan puteranya yang pulang pergi dari Makassar ke daerah asal mereka, Campalagiang.

Kesimpulan

Sejarah sosio-ekonomi kolonial di Indonesia masih didominasi prespektif eropasentris. Perhatian para sejarahwan masih sering mengikuti perkembangan ekonomi yang dituntun oleh orang-orang Eropa sehingga untuk perdaganghan kelapa dimana orang-orang Eropa tidak banya terlibat, relatif belum dikenal dan hanya digambarkan secara klise sesuasi dengan persepsi Negara-negara kolonial. Hal ini terjadi karena orang-orang Eropa merasa frustasi sebab tidak sanggup mengemabangkan tanaman kelapa menjadi tanaman yang sukses, sementara penduduk setempat dapat mengeksploitasi tanaman ini dan mendapatkan keuntungan yang besar.

Dalam perdagangan kopra, orang-orang Eropa harus bekerja sama dengan orang cina sebagai pedagang perantara, karena pedagang-pedagan cinalah yang mampu mengembangkan jaringan dagang yang luas dan memiliki eksistensi yang bahkan bisa menghalangi orang-orang eropa.

Sebelum periode kopra, perdagangan kelapa susah dimonopoli sampai ketika pedagang haji di Batangmata dan pedagang cina di Padang berkonsentrasi pada perdagangan barang-barang mewah.

Kebangsawanan sangat diuntungkan oleh proses simultan dari eksistensi dan akumulasi perkebunan kelapa, dimana mereka memperkuat hubungan kerja sama perkawanan selama masa-masa booming kelapa dengan mengontrol produksi kelapa, tanaman yang sangat penting bagi status sosial orang selayar.

Ketika kopra menjadi komoditas ekspor, perdagangan kopra terintegrasi secara kuat ke dalam pasar dunia, dan berhasil memimpin terciptanya hirarki komersil terhadap spesialisasi etnik. Ditambah lagi dengan digemarinya kelapa di seluruh dunia, sehingga ini tidak menimbulkan hubungan “mangsa-predator” dalam perdaganngan, tetapi dapat dinikmati oleh level bawah.

Posisi kebangsawanan tidak betul-betul berpengaruh pada periode pertama perdagangan kopra dan beberapa orang bisa sukses sebagai papalele dalam perdagangan kopra. Kebencian melemah ketika semua orang diuntungkan oleh perdagangan kopra, namun berkembangnya kelapa menjadi tanaman tunggal juga merupakan bom waktu. Sementara Pedagang cina di Selayar, walaupun menjadi kaya karena berhasil mengontrol ekspor kopra namun pada umumnya tidak terlibat dalam kepemilikan.

Depresi pada tahun 1930-an di Selayar pun menandai era baru perdagangan kopra. Perdagangan kelapa di Selayar terpecah-pecah. Sebelumnya didominasi oleh cina peranakan, akhirnya digantikan oleh cina totok pendatang baru. Posisi para bangsawan lalu diserang oleh reformis-reformis islam.

Meningkatnya kekuatan kalangan biasa dipicu oleh terjadinya disintegrasi monopoli cina peranakan. Muncul kemudian Coprafound yang memutus hubungan mereka dengan Makassar. Coprafound yang merupakan badan kepercayaan Unilever ini akhirnya membuat orang Eropa mampu mengontrol perdagangan kelapa yang tidak bisa dilakukan sebelumnya.

(Artikel ini diterjemahkan secara bebas dari jurnal : Selayar and The green gold, The development of the coconut trade on an Indonesian Island (1820-1950)

Oleh : Christiaan Heersink, Alih bahasa : Andi Amrang Amir

Penerbit : Cambridge University Press 1994

JATUH BANGUN PERDAGANGAN EMAS HIJAU DI SELAYAR ANTARA TAHUN 1820-1950

Oleh : Christiaan G. Heersink

Alih bahasa : Andi Amrang amir

Di masa kolonial, banyak orang Eropa mengangap bahwa kelapa adalah tanaman para pemalas1. Namun untuk orang Indonesia sendiri, tanaman ini sangat menguntungkan, apalagi ketika industri-industri besar di Eropa pada awal tahun 1880-an menggunakan kopra (biji kering dari kelapa) sebagai bahan dasar produksi sabun dan margarin. Saat itu diperkirakan sepertiga kebutuhan kopra dunia dipasok dari Hindia Belanda. Kopra menjadi komoditas ekonomi yang penting di Indonesia timur. Pada tahun 1939, kopra memiliki prosentase sebesar 80 persen untuk komoditas ekspor wilayah Indonesia timur dan 60 persen dari total komoditas ekspor2.

Di beberapa wilayah di Indonesia, kopra dijuluki “The green gold” (emas hijau) 3. Orang-orang Eropa juga terlibat dalam pengolahan kelapa tetapi dalam jumlah terbatas. Pada paruh pertama abad 19, perdagangan kopra didominasi penduduk setempat dengan kisaran 94 persen, sementara pedagang cina menjadi pedagang perantara mendominasi perdagangan kopra level menengah.

Pentingnya kopra sering dicatat dalam literatur sejarah ekonomi Indonesia. Dimana analisis terhadap perluasan perdagangan kopra dikatakan kurang bisa terlalu dipahami, karena analisis yang ada saat ini masih seputar analisis level makro, yang memberikan informasi kuatitatif tetapi sangat sedikit menyebutkan dampaknya pada perdagangan lokal. Lagipula tidak jelas bagaimana perdagangan kelapa diorganisir dan bagaimana peran orang Indonesia, Cina dan Belanda yang mencoba melakukan penetrasi atau mengontrol perdagangan kelapa selama masa suksesi. Untuk memahami ini, tentu kita membutuhkan jelajah analisis level mikro.

Artikel ini akan mengulas perdagangan kelapa di Selayar, sebuah pulau di ujung selatan daerah Sulawesi selatan dimana perekomomiannya pernah didominasi oleh perdagangan kelapa selama dua abad. Pilihan dijatuhkan pada Selayar dengan dua pertimbangan:

Pertama, pulau tersebut telah memimpin perdagangan ekspor kelapa sebelum perdagangan kopra sehingga bisa dikatakan bahwa, pertumbuhan kelapa tidak sekedar orientasi substansi atau prioritas statis ketika berintegrasi dengan pasar dunia.

Kedua, pulau ini merupakan sedikit dari wilayah di Indonesia timur yang disurvey lebih intensif oleh pemerintah lokal selama goncangan Perang Dunia II dan pergerakan nasional Indonesia.

Artikel ini menggambarkan bahwa perluasan perdagangan kelapa mempunyai sebuah pengaruh yang penting bagi masyarakat Selayar, misalnya ketika kepemilikan kebun kelapa menjadi indikator utama mobilitas social. Integrasi perdagangan kelapa terhadap pasar dunia pada awal abad 20 menyebabkan hilangnya dominasi pedagang lokal walaupun mereka pun tidak lantas ter-subordinasi secara total. Sementara itu, orang-orang Eropa mengalami kesulitan untuk melakukan penetrasi terhadap perdagangan kelapa dan hanya berhasil sedikit sampai pasca 1930.

Artikel ini dimulai dengan pendahuluan singkat terhadap struktur sosial-ekonomi di Selayar. Setelah itu, perkembangan perdagangan kelapa di Selayar akan dianalisis dalam tiga bagian : Periode Sebelum Kopra ( 1820-1880), Tumbuhnya monopoli Cina ( 1880-1930) dan Periode depresi setelah kemunculan Coprafound( 1930-1950).

Penelitian ini sebagian besar mengambil referensi dari gambaran material Algemeen Rijksarchief Den Haag ( ARA), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta dan Makassar serta sejumlah wawancara di Makassar dan perjalanan ke Selayar dari bulan November 1990 dan November 1991. Kebanyakan wawancara tersebut berlangsung dalam bahsa Indonesia kecuali dengan beberapa orang selayar, dimana kami dibantu oleh Bapak Guru Arifin dan Andi Balasa sebagai penerjemah bahasa setempat.

Gambaran umum Tentang Selayar

Pulau selayar memiliki panjang 80 km dan lebar maksimal 13 km. Pulau ini terdiri dari pegunungan dan tanah gersang yang tidak bisa dipercaya akan dapat menumbuhkan tanaman, khususnya di bagian utara. Mayoritas penduduk beragama Islam. Di masa kolonial, makanan utama mereka adalah jagung yang ditanam di ladang (lahan tanpa irigasi) yang banyak terdapat di daerah-daerah perbukitan. Sementara itu beras didatangkan dari daratan Sulawesi dan sebagian kecil di daerah Sunda. Pada dasarnya, lahan yang paling banyak ditanami kelapa adalah daerah pesisir barat tetapi di pulau ini, di pucuk-pucuk bukit pun, tanaman kelapa tidak susah ditemukan.

Selayar memiliki jaringan ekonomi yang luas selama berabad-abad karena letaknya yang strategis dalam jalur perdagangan antara Makassar dan pulau-pulau di Indonesia timur misalnya di Maluku yang menjadi pusat rempah-rempah. Integrasi terhadap jaringan perdagangan ini kemudian menyebarkan pula komoditas Selayar yang lain seperti tekstil ( setelah tahun 1600) dan teripang ( sejak 1750-an). Pulau tersebut beralih dari kekuasaan Gowa ke Belanda setelah kekalahan Gowa dari kekuatan gabungan Laksamana Speelman dan Pangeran Bugis, Arung Palakkan tahun 1667.

Selayar merupakan daerah penyebaran orang-orang Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan dimana mayoritas penduduknya berbicara dalam bahasa dialek Makassar. Masyarakatnya memiliki ciri khas seperti di daerah-daerah tetangganya yang berada di antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan, yang menyebabkan terjadinya mobilitas sosial, dan di sisi lain, terjadi stabilitas struktur sosial6. Kekuatan politis tertinggi yang terpecah menjadi sekitar 10 distrik distabilkan oleh sederet intervensi Belanda, khususnya setelah awal abad 19.

Setiap regency dipimpin oleh seorang yang bergelar Opu, yang dipilih di antara Anak pattola (bangsawan tertinggi). Anak pattola ini dibentuk bersama-sama dengan anakkaraeng (bangsawan yang lebih rendah). Bangsawan Selayar terpisah jelas dengan strata yang lebih rendah, yakni orang kebanyakan dan budak8.

Status ini dilegitimasi oleh klaim kepemilikan kualitas luar biasa dari sumage (….), sebuah istilah yang diasosiasikan dengan potensi, isi jiwa( stuff) serta jiwa masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi selatan, yang hanya bisa diwariskan lewat keturunan dan diperkuat oleh hukum adat9. Status formal ini telah diseimbangkan dengan kekuatan aktual yang fleksibel dan terstruktur dalam hubungan perlindungan-pertemanan (patron-client) yang berdasar pada pola pengontrolan orang-orang yang berkuasa.

Kebangsawanan Orang Selayar diwujudkan dalam pekerjaan dari bawahan dalam masyarakat Selayar dan sebagai atasan, wajib melindungi bawahan dari kekerasan atau gangguan musuh. Aturan ini berlaku secara umum10. Bawahan selanjutnya membalas segala jasa segala bentuk kebaikan pelindungnya dalam bentuk imbalan ekonomi serta membantu atasannya untuk mewujudkan pengakuan politik. Atasan membutuhkan ini karena kekuatan setiap individu dan legitimasi posisi sosialnya akan segera diuji oleh para pesaingnya. Kegagalan dan keberhasilan melewati “ujian” tersebut akan menyebabkan ekspansi dan kontraksi terhadap para pelanggan, serta kebangkitan dan kejatuhan sebuah keluarga11.

Hubungan system dyadic (…) ini juga membentuk basis ekonomi. Yang terpilih akan menggunakan para budak dan debt bondsmen (..) untuk bekerja di ladangnya, di industri tekstilnya atau di perahunya. Semetara itu, di bidang pertanian, para pekerja akan mengambil bagian dari milik tuannya sebagai balas jasa dari tuannya. Penghapusan perbudakan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1860 di Sulawesi selatan tidak mengakibatkan “perpecahan ekonomi” karena para pekerja pada umumnya mendapatkan “perlindunagn” dari tuannya sehingga perbudakan masih saja berlangsung secara illegal sampai tahun 1920.

Keterlibatan dan perhatian orang-orang Eropa terhadap pengolahan kelapa sangat minim selama periode kolonial. Pada tahun 1849, L.M. F Plate, seorang utusan dari Nederlandsche Handel- Maatshappij(NHM) yaitu sebuah perusahaan Dagang nasional Belanda yang bertempat di Makassar menganggap bahwa kelapa merupakan salah satu komoditas yang sangat menguntungkan. Namun kebanyakan usaha orang Eropa yang mencoba mengolah kelapa mengalami kegagalan karena skema rasionalisasi yang mahal. Di samping itu mereka tidak memiliki akses terhadap para pekerja yang telah “dikontrak” oleh pengusaha setempat setidak-tidaknya 10 tahun sebelum panen pertama. Ini merupakan waktu yang terlalu lama untuk meraup keuntungan13.

Pengolahan kelapa yang dilakukan penduduk setempat sama halnya dengan produk ladang lainnya yang tidak terlalu memerlukan energi yang banyak. Setelah tahap penanaman, mereka punya banyak waktu untuk melakukan aktivitas lain. Inilah yang menyebabkan orang-orang Eropa menyebut kelapa sebagai tanaman orang malas. Menurut mereka, keuntungan dari perdagangan kelapa tergantung dari harga pasar dan bukan dari optimalisasi pengolahan14.

Periode Sebelum kopra (1820-1880)

Pada paruh pertama abad 19, perdagangan selayar terpusat di pesisir barat, dimana dapat ditemukan sekitar 5 atau 6 pusat perdagangan ( Dari utara ke selatan : Batangmata, Barugayya, Parak, Appabatu, Benteng, Padang, Tongke-Tongke- catatan penej). Pusat-pusat perdagangan ini memiliki komoditas dan jaringan dagang yang sama. Pengaruh Belanda berpusat di Benteng, sebuah daerah yang berada di tengah pulau. Di daerah ini, dibangun post pada awal abad 19, serta ditempatkan seorang Controleur dan Gezaghebber yang mengatur para Opu. Opu ini mengontrol kepala pemerintahan di bawahnya. Mulai saat itu ditetapkan aturan pembayaran iuran untuk ekspor dan impor yang terbukti lemah karena di luar Benteng, terutama di daerah-daerah bagian utara terjadi banyak penyelundupan. Sementara itu di pesisir timur, karena pantainya curam dan sangat sedikit tempat yang bisa dipakai membuang sauh, maka tidak cocok untuk armada dagang berskala besar15.

Pada abad 19, pemerintah Belanda merencanakan penarikan pajak perbandingan buah tiap pohon (fruit-bearing coconut tree) namun rencana ini baru terlaksana pada sekitar tahun 1900. Kebijakan ini dianggap sangat kompleks dan mahal sebab sistem perpajakan yang rill dan adil membutuhkan pegawai yang akan menakar jumlah pohon, mencatat siapa pemiliknya, mengontrol kematangan pohon dan sebagainya16.

Aktivitas Perdagangan penduduk setempat dibiayai dan diorganisir oleh penduduk setempat oleh sebuah sistem yang disebut modala (working capital)17. Biasanya pemilik kapal menyupali berbagai komoditas ke nahkoda (Kapten) Perahu yang memiliki beberapa anak buah kapal (sawi). Setelah mereka kembali dari pelayaran niaga mereka, maka modal dan sebagian keuntungan diserahkan kembali kepada pemilik kapal.

Ada dua jenis komoditas yang diperdagangkan waktu itu yakni : komoditas standar dan komoditas mewah. Komoditas standar adalah komoditas ekspor yang terdiri dari kain, kelapa dan minyak kelapa sementara komoditas mewah adalah barang-barang impor seperti beras dan tembakau. Ruang barang perahu biasanya diisi dengan berbagai komoditas yang beredar di pasar-pasar Selayar. Biasanya, komoditas standar bisa didapatkan dengan mudah di pasar-pasar setempat yang memiliki jaringan pasar dengan pusat perdagangan yang ada di daratan Sulawesi Selatan18. Sementara itu, komoditas mewah membutuhkan ruang tambahan di dalam kapal dan biasanya dilakukan oleh para pedagang antar pulau untuk jarak jauh.

Untuk Perdagangan jarak jauh sendiri, para pedagang memiliki pos sambungan yang bebas ( Far-flung network sattelite) dimana pedagang Selayar terhubung dengan pos perdagangan di Kampung Galange Singapura, serta di tempat-tempat lain seperti di Kalimantan, Jawa, Ambon dan Flores. Berbagai komoditas mewah seperti emas dan bahan-bahan perak diperdagangkan di luar pasar umum melalui jaringan personal. Dengan demikian, jaringan dagang komoditas mewah ini lebih bisa dikuasai ketimbang komoditas standar. Mereka juga bergabung dalam jaringan dagang yang membawa hasil hutan dan hasil laut dari Makassar ke Singapura dan membawa pulang komoditas lain seperti senjata, opium dan tekstil India dari Singapura dalam jumlah kecil.

Pengolahan kelapa menjadi penting pada abad 19. Pada periode tersebut, kelapa menjadi salah satu komoditas dagang yang penting. Bagi yang tidak memiliki kelapa, mereka turut memperdagangkan kain, beras dan jagung walaupun biasanya mereka tetap memiliki sejumlah pohon kelapa dalam jumlah kecil. Pada pertengahan abad 19, seorang pelancong jerman, Zollinger mencatat bahwa, perdagangan kelapa dan minyak hampir menjadi komoditas utama bagi kesejahteraan penduduk yang ia temui. “Kelapa bagi mereka sama pentingnya dengan padi di tempat lain”, katanya.

Pada pertengahan abad 19, perdagangan kelapa, minyak kelapa memainkan peran pada perdagangan tingkat lokal, antar pulau dan tingkat regional utamanya di pulau-pulau kecil21. Selayar mengekspor kelapa dan minyak kelapa ke daerah-daerah lain seperti ke daratan Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumbawa dan sebagainya. Dalam laporan Celebes and dependencies (South Sulawesi) tahun 1860 dinyatakan secara eksplisit bahwa, telah terjadi kekurangan stok kelapa di daerah-daerah tersebut kecuali Selayar.

Pemerintah Kolonial Belanda kemudian memicu penyebaran pohon kelapa ke pulau-pulau lain dengan membawa bibit kelapa dari selayar. Paruh kedua abad 19 ditandai dengan bertambahnya perkebunan kelapa di seluruh kepulauan Indonesia, termasuk di Selayar sendiri. Tetapi selayar yang memimpin perdagangan kelapa menjadi terancam karena pulaunya yang kecil, sementara di kepulauan sebelah timur, potensi untuk ekspansi lebih besar.

Dengan bertambahnya jumlah perkebunan kelapa di selayar, maka proses akumulasi perkebunan kelapa oleh elit lokal pun dimulai23. Akumulasi (penimbunan) ini melibatkan kekerasan dan penggadaian yang berujung pada persengketaan kepemilikan tetapi dapat dicegah melalui perkawinan dan penerbitan land form division dalam bentuk warisan.

Selama abad 19, perekonomian Selayar mengalami proses moneterisasi, terutama setelah tahun 1863 ketika pajak suara (poll tax) diberlakukan. Biasanya kalangan bawah menggadaikan kebun kelapanya kepada penguasa untuk mendapatkan uang pembayaran pajak, dan kadang dipakai naik haji. Konstribusi terhadap proses akumulasi banyak terjadi di Selayar bagian utara. Orang-orang kehilangan lahan pertaniannya jika tidak bisa mengembalikan pinjaman, tetapi nampaknya kekuatan para elit terhambat oleh klaim kepemilikan asli.

Para Opu diberikan sebuah peranan kunci secara tidak langsung oleh pemerintah kolonial pada abad 19 untuk mengatur Selayar. Mereka sekaligus menjadi pegawai pemerintah kolonial. Di Makassar, pusat pemerintahan regional Belanda, bahkan telah mengizinkan pengangkatan dan pemberhentian mereka. Beberapa opu juga menjadi pecandu opium dan mereka makin tidak mampu mempertahankan posisi mereka dalam “contest state’26.

Pengawasan ketat dari Controleur Belanda kemudian menghalang-halangi praktek tradisional untuk mendapatkan kekuasaan, yang secara langsung menguji kekuatan lawan? Ketimpangan kekuasaan para opu ini meyebabkan meningkatnya ketegangan secara terus-menerus antara opu dan lawan tanding (rival) mereka yang member kesempatan pada orang-orang biasa untuk mendapatkan kekuasaan27.

Pada paruh kedua abad 19, akses untuk menguasai perdagangan jarak jauh meningkat dan dimonopoli oleh dua kelompok: kelompok haji dari Batangmata dan kelompok Cina dari Padang, sebuah perkampungan baru di tengah selayar. Setelah terjadi sederet konflik dengan opu mereka, Daeng Gassing dari Batangmata yang menganggap diri sebagai opu dan dilindungi oleh Belanda ternyata bisa memiliki kekuatan yang besar dalam kepemilikan sebagian besar dari perkebunan kelapa dan perdagangan jarak jauh. Bangsawan Batangmata, utamanya yang memiliki gelar haji28 memperoleh penguatan status diukur dari luasnya jaringan dagang dan juga sukses menjalin hubungan dagang dengan mereka yang beragama islam. Misalnya pada tahun 1880-an, Haji sekaligus pemimpin dagang yang paling disegani di Batangmata, Mohammad kasim, menjalin hubungan dagang langsung ke Singapura melalui agennya, Syekh Abdul wahid. Ia juga mempergunakan statusnya sebagai orang Islam asal selayar untuk melakukan kontrak pribadi dengan beberapa syarif (keturunan dari Rasulullah) di Mekah dan menjamin bahwa calon jemaah haji asal selayar akan menggunakan perahunya di Singapura dan agennya akan membantu jemaah haji Selayar menuju dan kembali dari Mekah29.

Pada tahun 1840-an, dengan dukungan Opu Bontobangung, untuk pertama kalinya pedagang cina menetap di Padang. Dipilihnya Opu Bontobangung sebagai pendukung bagi pedagang asing ternyata berhasil sebab Opu-opu yang lain sendiri akan lebih berpeluang sebagai musuh politik ketimbang kawan30.

Tjoa lesang (Baba Lesang) dan beberapa pedagang lain kemudian terlibat dalam perdagangan teripang dan menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Cina di Makassar serta mewakili beberapa perusahaan Belanda di sana. Selanjutnya mereka membentuk sebuah jalinan dagang yang penting antara Makassar dan pedalaman-pedalama di kepulauan sebelah timur, yang membawa produk-produk hutan dan produk laut dari Maluku dan Timor ke Makassar serta mendistribusikan berbagai komoditas lain ke Selayar dan daerah-daerah lain31.

Munculnya Monopoli Cina (1880-1930)

Perdagangan kopra menyebabkan meningkatnya produksi pengolahan dan perdagangan kelapa, tetapi keadaan ini pula yang menyebabkan terjadinya percepatan pola ekspansi yang dimulai pada akhir abad 19. Cara memproduksi kopra lebih sederhana ketimbang minyak kelapa32. Pengolahan kopra hanya membutuhkan pengeringan kelapa dengan cara diasapi sementara pengolahan minyak kelapa membutuhkan waktu dan proses yang lebih lama seperti pemarutan dan penanakan.

Kopra Selayar pertama kali diekspor ke Eropa melalui Makassar pada tahun 1880. Empat tahun kemudian baru kopra Selayar dikapalkan ke Tanah Jawa. Perdagangan kopra dan komoditas-komoditas dagang lain seperti kelapa dan minyak kelapa terjadi dalam beberapa dekade antara tahun 1880-1900, tetapi setelah tahun 1900, kopra menjadi komoditas yang dominan dan pada awal abad 20, perekomomian Selayar dalam keadaan krisis akibat ketergantungan pada ekspor kopra33. Untungnya perdagangan kelapa dan minyak kelapa tidak terlalu merosot sehingga kurang lebih bisa menjadi penopang ketika harga kopra merosot34.

Sebetulnya pedagang-pedagang dari Batangmata lebih duluan memulai ekspor kopra dibanding rival mereka, Pedagang-Pedagang Cina yang ada di pusat-pusat perdagangan bagian tengah pulau. Tetapi karena pedagang-pedagang cina memiliki akses modal dan distribusi yang lebih besar dengan perusahaan-perusahaan dagang Eropa di Makassar, maka pedagang-pedagan cinalah yang kemudian mendominasi alur perdagangan Selayar-Makassar36.

Pedagang-Pedagang Cina ini memiliki peranan penting dalam hirarki struktur dagang kopra di Indonesia tImur. Pentingnya Pedagang-pedagang Cina ini bagi orang Eropa diganbarkan dengan baik oleh seorang pelancong Inggris yang berkunjung ke Singapura pada awal abad itu dengan mengatakan bahwa, Perusahaan Dagang Eropa dan semua usaha dagang yang ada di timur tak akan mampu berjalan seminggu pun tanpa bantuan Orang Cina, baik itu mereka yang menjabat sebagai shroff, komprador atau pun juru tulis37.

Pada puncak hirarki dagang, ada beberapa perusahaan Eropa di Makassar yang mengatur pengapalan kopra ke Eropa. Kopra memiliki memiliki beberapa keuntungan dibanding minyak kelapa karena lebih tahan lama. Perusahaan-perusahaan Eropa ini memberi tambahan modal kepada pedagang-pedagang cina (tauke) yang bertugas mengumpulkan kopra dari area produksi yang tidak terjangkau oleh mereka. Untuk mengumpulkan kopra, para tauke mempekerjakan penduduk pribumi (papalele) yang juga terkadang menjadi produsen kopra yang diberi modal oleh tauke. Kopra untuk sementara akan disimpan di gudang baru kemudian diangkut dengan kapal uap milik Royal Packeboat Company (KPM)38 ke Makassar.

Keterlibatan penduduk pribumi dalam perdagangan kopra, berbeda-beda. Yang menjadi produsen biasanya lebih tertarik pada harga tinggi. Ketika harga yang ditawarkan pasar tidak sesuai dengan keinginannya, maka mereka akan menyimpan kopranya sampai harga yang terakhir, bahkan biasanya kembali mengolah minyak kelapa. Sementara itu seorang Papalele lebih memusatkan perhatiannya pada fluktuasi harga.

Pada saat harga kopra meninggi¸ Papalele tidak jarang mengalami kesulitan membeli semua kopra karena modalnya yang terlalu kecil sementara orang selayar lebih memilih menggunakan uang logam ketimbang uang kertas39. Ketika harga jatuh, papalele susah mendapatkan keuntungan karena perbedaan harga beli dan jual di Makassar40. Margin of profit ini kadang diperkuat pula oleh ketidak beruntungan jika berat kopra menurun saat dijual, yang biasanya menurun sampai 10 persen41.

Fluktuasi harga juga penting bagi para tauke yang lebih sering berspekulasi. Para tauke yang membeli kopra sampai berton-ton biasanya memilki keahlian tersendiri dalam menaksir prosentase kandungan air di dalam kopra, sehingga mereka pun memotong harga pembelian separuhnya jika ada kopra yang terlalu basah42.

Setelah kenaikan harga kopra yang lamban pasca Perang Dunia I yang sebelumnya sempat jatuh, maka pada tahun 1919 dan 1920, harga kopra kembali melambung dan menurun menuju kestabilan. Namun setelah beberapa waktu lewat dari tahun 1920-an, harga kopra perlahan turun. Harga tinggi terjadi akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran yang sempat membuat kesejahteraan para produsen kopra di Selayar meningkat selama dua dekade pada abad itu.

Pada tahun 1925, Van Setten menghitung laba bersih kopra di Minahasa yakni f 5 ( 5 gulden) tiap picul (61,7 kg) atau f 1 tiap satu pohon kelapa43. Saat itu, orang-orang Selayar menabung uang mereka sementara di Minahasa, para petani kopra cenderung memboroskan unag mereka misalnya untuk membeli mobil. Orang Selayar sendiri menginvestasikan uang mereka dalam bentuk gigi emas, kadang dipakai untuk biaya pernikahan, pendidikan atau ditabung. Pada tahun 1920, Controleur Baden memperkirakan uang cash yang tersimpan di selayar sampai tahun 1928 adalah sebesar 5 juta gulden dimana sejumlah besar tertdiri dari uang koin.

Pada abad 20, status sosial di Selayar ditentukan dengan kepemilikan pohon kelapa. Pernikahan di selayar dilakukan dengan pembayaran sunrang ( mahar) oleh keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga perempuan sebagai konsekwensi “pindahnya” mempelai wanita dari keluarga intinya. Di awal tahun 1880-an, sunrang biasanya terdiri dari sejumlah uang dan barang-barang mewah dan hanya sesekali dalam bentuk pohon kelapa.

Jumlah sunrang disesuaikan dengan status mempelai wanita. Pada abad 19, sunrang dalam bentuk pohon kelapa adalah 20, 40 sampai 80 pohon atau jika diuangkan sebesar f 2. Selanjutnya pada abad 20, jumlah pohon kelapa yang dijadikan sunrang berkisar antara 20, 40, 80 sampai 100 pohon45.

Mempelai laki-laki yang status sosialnya lebih rendah harus memperkuat status sosialnya dengan membayar sunrang lebih dari biasanya dan harus mempersiapkan sejumlah uang untuk biaya pesta pernikahannya. Pesta pernikahan adalah pesta dengan biaya termahal, terutama ketika harga kopra melambung. Pesta dilangsungkan di rumah mempelai wanita tetapi dibiayai oleh keluarga mempelai laki-laki. Tidak jarang keluarga mempelai laki-laki harus mengutang demi membiayai pesta pernikahan tersebut.

Pada abad 20, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha mempengaruhi masyarakat Selayar level bawah serta “menjinakkan” anak pattola dan anak karaeng yang saat itu memiliki kekuasaan politik dalam bentuk Opu. Di daerah Buki misalnya, keluarga yang berkuasa dan disegani, Luha Daeng Mangalle kehilangan hampir semua kebun kelapanya. Pemerintah memblokade akses mereka ke pemerintahan akibat aksi “kriminal” yang dilakukan oleh ayah Luha, Panenrang Daeng Remba. Kesalahan yang dilakukan Daeng Remba yang menyebabkan kekuatan politiknya melemah dan relasi ekonominya menjauh adalah, memboroskan hartanya dengan menggunakan uang kertas sebagai pembungkus tembakau!47

Kekayaan dan prestise orang selayar kemudian tergantung pada kepemilikan pohon kelapa atau seberapa bisa mereka memperdagangkan kopra. Sistem yang berlaku adalah bagi hasil dengan partner dagang mereka. Tak jarang kepemilikan pohon kelapa menjadi sumber pertengkaran yang dibawa sampai ke meja hijau karena orang-orang yang berkuasa, termasuk para Opu kadang dituduh memiliki kelapa secara ilegal49.

Sementara itu, tauke-tauke Cina memiliki pengaruh yang besar baik terhadp ekonomi makro maupun mikro di Selayar. Hubungan mereka dengan struktur makro maupun mikro yang berpusat di Makassar, berlangsung secara fleksibel. Para tauke yang bergabung dengan persekutuan dagang cina di Makassar, Siang Hwee memiliki hubungan dengan satu atau lebih perusahaan dagang Eropa di Makassar.

Mereka dapat menimbun kopra secara perorangan, namun biasanya mereka lebih sering bergabung dalam satu kongsi kerja sama orang-orang Cina yang memiliki bisnis dalam satu merek. Pada tahun 1910-an, kongsi dagang kopra yang paling berpengaruh di Selayar adalah Hap Tjoen & Co. perusahaan ini memiliki 4 orang anggota yangh berasal dari keluarga Oei Tjoan Goan dan Oei Hok Goan. Mereka bersaudara50

Pada tahun 1918, Hap Tjoan & Co mendominasi 75 persen ekspor Selayar, namun pada bulan april 1922, perusahaan tersebut bangkrut. Mungkin karena merosotnya harga kopra secara tiba-tiba setelah perang. Kebangkrutan terparah dialami oleh perusahaan Eropa yang mengalami kekurangan modal. Namun dengan segera, para pedagang cina kemudian memulihkan diri dari kebangkrutan mereka. Kwee Liem hong, salah satu anggota Hap Tjoen mulai aktif lagi berdagang kopra di selayar setelah sempat dipenjara selama beberapa bulan.

Liem Hong adalah seorang pedagang yang pintar dan memiliki kontak pribadi dengan Selayar. Sebagai wakil manager dari perusahaan Tiong Seng ia mulai mengumpulkan kopra, sementara itu saingan terberatnya adalah Jo Tjoe Tjae dari perusahaan Oei Seeu wen & Co.

Pada tahun 1924 Kwee Lim Hong menguasai 80 persen ekspor kopra Selayar sedangkan Jo tjoe Tjae menguasai 20 persennya. Ini menyebabkan meningkatnya harga kopra di selayar secara besar-besaran dan renggangnya hubungan antara dua pedagang ini sampai akhirnya dibuat perjanjian bahwa Jo tjoe Tjae akan menunda penjualan kopra Selayar selama beberapa bulan sebagai ganti pembayaran sebesar f 1000 tiap bulan.

Kwee lim Hong menjadi Raja Kopra Selayar seperti pedagang kopra Cina lain di Sulawesi51. Sementara itu Jo Tjoe Tjae meninggalkan perdagangan kopra sama sekali setelah perjanjian tersebut dan pembagian pasar diserahkan kepada Go Ke Hong lalu dilanjutkan oleh Baka Oto ( N. V. Yet Thiong)52. Pada tahun 1928, Kwee Lim Hong kembali mengalami kebangkrutan dan bangkit lagi pada tahun 192953.

Hubungan dagang antara pedagang-pegangan Cina dan orang-orang Selayar relative baik. Sebelum tahun 1930-an, peranakan Cina ( keturunan Cina yang lahir dari pembauran dengan penduduk setempat dan dijuluki “Baba”) mendominasi perdagangan kopra Selayar. Kwee Lim Hong (panggilan : Baba Lihong) adalah salah satu di antara mereka. Baba Lihong menikahi salah satu perempuan di kampung Bitombang sampai akhirnya mendominasi perdagangan kopra54.

Baba Lihong nampaknya sangat populer di Selayar. Walaupun bukan muslim, ia membiayai pembelian kayu untuk atap bangunan mesjid di Bitombang dan memiliki hubungan baik dengan Opu Bonea, Opu Muhammad Daeng malewa55. Di tahun 1920-an ia menjadi kreditor terbesar di Selayar. Sebagai bayaran dari piutangnya, ia mengambil hasil panen sebelum hutang dilunasi56.

Sementara itu di daerah lain seperti Minahasa, pinjaman hutang berlangsung dengan bunga tinggi dan berakhir dengan kehilangan kebun kelapa ketika mereka tidak mampu membayar hutang, sehingga kreditor beralih menjadi pemilik kebun kelapa. Kasus seperti ini banyak terjadi ketika berlangsung depresi ekonomi awal tahun 1930-an pada saat harga kopra jatuh57. Namun di Selayar, hal seperti ini tidak pernah ditemui. Mungkin karena orang Selayar yang pandai menabung. Pun karena para kreditor Cina lebih suka menerima bayaran hutang dari hasil panen ketimbang berusaha memiliki kebun kelapa58.

Pemerintahn Kolonial sendiri hanya bisa terlibat secara tidak langsung, misalnya dalam hal registrasi yang tidak selamanya berlangsung efektif karena terjadinya konflik rasionalisasi ekonomi antara pemerintah kolonial, pedagang perantara dan produsen kopra. Intervensi pemerintah kolonial terhadap perdagangan karet nampaknya tidak bisa segencar perdagangan kelapa karena hilangnya kepercayaan penduduk terhadap pemerintah kolonial yang ingin melobi59.

Kualitas kopra di Makassar yang kadang-kadang rendah sehingga harganya lebih rendah dibanding daerah lain menyebabkan Gubernur H.N.A Swart yang saat itu memerintah Celebes merasa keberatan. Ia mengangap telah terjadi penyalahgunaan dalam perdagangan kelapa dan kopra di selayar sehingga pada tahun 1906 ia menerbitkan ordonansi tentang pembentukan Klappakeur dan Coprakeur60 ( Inspeksi kebun kelapa dan inspeksi kopra).

Klappakeur menitikberatkan pada inspeksi pengolahan kelapa secara umum misalnya tentang pembersihan kebun dari hama. Namun inspeksi ini justru menimbulkan kebencian orang-orang Selayar terhadap pegawai pemerintah yang mengatakan bahwa orang-orang selayar menanam pohon kelapa dengan jarak yang terlalu rapat sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara pohon dan hasil. Di samping itu orang selayar pun menolak menebang pohon kelapa yang sudah tua. Banyak orang Belanda tidak paham bahwa jumlah pohon kelapa sangat penting bagi orang Selayar karena menunjukkan jumlah sunrang61.

Sementara itu Coprakeur ditujukan untuk meningkatkan kualitas kopra yang sering hitam karena terlalu lama diasapi atau terlalu basah. Tetapi inspeksi ini pun tidak efektif karena biasanya harga kopra bukan ditentukan oleh kualitasnya tetapi kuantitasnya. Kualitas kopra yang baik adalah yang kering, namun ini membutuhkan waktu yang lama dalam pengolahannya, dan harus dijual dalam jumlah yang banyak untuk mendapatkan keuntungan besar. Itu sebabnya penduduk setempat menjual kopra kering nanti ketika harga kopra jatuh, ketika terjadi perbedaan harga yang tajam antara kopra kering dan kopra campuran (campuran yang basah dan kering-penerj)63. Maka usaha quality control yang dilakukan pegawai inspektor atau yang disebut mantri kopra biasanya tidak efektif pada saat booming kopra, karena pedagang menengah lebih memperhatikan jumlah ketimbang kualitas64. Pemerintah Belanda menganggap aktivitas pedagang perantara, terutama pedagang cina sebagai penghalang meningkatnya kualitas kopra dan merugikan penduduk setempat.65

Pada akhir tahun 1920-an, pemerintah kolonial mencoba mengurangi kekuatan para pedagang perantara dengan melakukan standarisasi berat agar tidak terjadi ketimpangan harga, dan mencoba menyediakan informasi mengenai perdagangan kopra, yang sebelumnya dimonopoli oleh Baba Lihong Dan Go ke Hong66. Pada masa-masa ini memang terjadi ketimpangan informasi serta perselisihan tajam antara produsen kopra lokal (papalele) dan perusahaan dagang Eropa. Papalele, dalam menjalankan tugasnya untuk tauke tidak tahu banyak tentang macroekonomi dan jarang ke Makassar. Ini digambarkan melalui wawancara dengan papalele yang masih merasakan resesi di tahun 1930-an akibat pecahnya Perang dunia.

Sementara itu, perusahaan pengekspor pun sering kehilangan informasi terpercaya mengenai kondisi lokal daerah terpencil. Swets, salah satu pekerja Belanda di Oliefabrieken Insulinde, mengatakan dalam laporannya bahwa, Agen Adelink, walaupun telah menjadi Residen di Makassar selama 25 tahun, tidak pernah mengunjungi kebun-kebun kelapa di Maluku. Ia mengatakan :

“Yang kami amati, Perhatian Mister Adelink tentang wilayah-wilayah produsen kopra hanya bersandar pada kabar angin, dan tentunya juga mengenai keadaan orang-orang di sana sehingga ia gagal mengamati kebutuhan objektivitasnya”67

Pedagang-pedagang dari Batangmata juga bersaing dengan tauke-tauke Cina dan KPM. Pedagang-pedagan ini telah kehilangan peranan penting dalam perdagangan jarak jauh sejak KPM mengumpulkan dan mendistribusikan berbagai komoditas dagang dengan kapal uap. KPM, yang memiliki rute terjadwal dan juga rute tak terjadwal, mencoba mengambil semua rute transpor rempah-rempah di Sulawesi selatan. Namun upaya ini sedikit macet apabila datang angin timur, sehingga pada saat itu, mereka terpaksa mengurangi muatan. Kesempatan ini dipergunakan para pedagang Selayar dan pedagang dari Sulawesi selatan lainnya untuk membawa kopra ke Makassar dan ke Surabaya.68

Para pedagang haji yang masih menggunakan sistem modala, mengurangi jumlah muatan lain dan memasok lebih banyak kopra serta mengembangkan sistem perdagangan yang lebih luas, misalnya memuat berbagai barang dagangan dari toko-toko di Surabaya, berlayar dengan angin barat awal ke Bali untuk memuat tembakau, mengambil kain di Selayar dan berlayar ke Maluku, lalu kembali ke Selayar dengan membawa hasil hutan dari Maluku dengan angin timur.

Membangun kembali Perdagangan kopra (1930-1950)

Pada tahun 1930-an, terjadi depresi ekonomi dunia yang disertai menurunnya produktivitas kopra akibat penyakit dan usia pohon kelapa yang sudah tua. Ini menyebabkan memburuknya perdagangan kopra di Selayar sekaligus menandai era baru perdagangan kopra di selayar70.

Setelah tahun 1929, perdagangan dunia menurun secara drastis dan makin nampak ketergantungan orang-orang Selayar pada perdagangan kopra. Mereka yang menetap di tengah pulau sebagai pekerja di kebun-kebun kelapa atau sebagai buruh kasar dalah perdagangan kopra menjadi korban pertama. Upah mereka dikurangi. Sementara itu, para pemilik kebun kelapa yang luas, menunda produksi kopra dengan harapan, harga kopra akan membaik. Produksi panen akhirnya tertunda selama bertahun-tahun.

Melambungnya harga kopra yang pernah membuat orang selayar mengkonsumsi beras impor yang mahal dan ladang-ladang yang kebanyakan telah ditanami kelapa membuat produksi pangan sulit dilakukan. Banyak orang selayar yang kemudian bertahan dengan cara lama, yakni membuat minyak kelapa dan menenun kain. Sementara itu pemerintah Belanda mencoba melakukan diversifikasi ekonomi selayar dengan menggalakan tanaman lain seperti jeruk71.

Para bangsawan tetap menguasai kepemilikan kelapa pada tahun 1930-an72. Di antara para bangsawan ini, ada yang membagikan kebun kelapa tersebut sehingga kebun-kebun kelapa akhirnya jatuh ke tangan orang-orang kaya yang stratanya lebih rendah. Papalele yang beruntung adalah, Tunru Daeng Sagala, bangsawan rendah dari Parak (masuk dalam Regency Bonea). Ia membeli kebun kelapa antara tahun 1916 sampai 1924. Statusnya sosialnya pun dianggap telah meningkat karena menyerahkan puterinya, Mariama untuk dinikahi oleh Abdul Halim, putra Opu Muhammad Daeng Malewa dari Bonea, opu yang terkaya di Selayar.

Selama dan setelah Perang Dunia II, Masariki, putra Tunru Daeng Sagala dan pedagang cina bernama Ance Poa dari Batangmata memperoleh bagian penting dari kepemilikan kebun kelapa ketika putra Malewa, Tjinrapole menjual semua kebun kelapa milik ayahnya73.

Posisi bangsawan-bangsawan ini semakin terancam ketika aktivis-aktivis Muhammadiyah mengkritik adat, terutama dalam pembayaran sunrang sebesar f 2,50 tanpa peduli status yang mana. Ini pun menyebabkan goyahnya sistem strata di Selayar74.

Pada tahun 1930-an, cina peranakan kehilangan kendali terhadap perdagangan kopra yang mulai diambil alih oleh pedagang Cina totok yang merupakan pendatang baru. Pedagang cina totok ini adalah pelarian politik dan ekonomi dari negara asal mereka akibat perang sipil antara Kuomintang dan komunis serta Perang Cina-Jepang.

Ketika terjadi depresi ekonomi banyak perusahaan cina peranakan yang jatuh bangkrut akibat dari teknik spekulasi mereka. Para Cina totok, oleh orang Selayar, digelari Ance75. Mereka datang tanpa memiliki apa-apa melalui Singapura, Medan dan Makassar. Mereka kemudian bergabung dalam perdagangan enceran dengan didanai oleh cina peranakan. Setelah memiliki sejumlah modal, mulailah mereka berbisnis dengan modal sendiri.

Cina totok yang paling sukses dalam perdagangan di Selayar adalah Oei Ek Tjoang ( Ance Beru). Ia adalah importer barang-barang toko yang paling penting di Selayar. Kekuatan posisi ekonominya membuat ia mampu membantu perusahaan dagang Cina di Makassar dan mendanai perdagangan kopra tingkat lokal pada tahun 193776.

Pada tahun 1930-an, Kwee Lim Hong tetap aktif berperan tidak langsung dalam perdagangan kopra. Nampaknya ia tidak memiliki akses pinjaman dari Makassar, bahkan bekas papalelenyalah yang membiayai pendidikan puteranya, Baba Siang di Bandung. Papalele-papalele inilah yang juga melanjutkan perdagangan kopra dengan mengirim kopra pada atasan mereka, para Cina di makassar77. Kwee Lim Hong lalu menjadi penasehat bagi bekas papalele-nya.

Setelah Baba Siang menyelesaikan pendidikannya, ia menjadi pedagang perantara dari Selayar ke Makassar. Saat itu gap antara level perdagangan kopra mikrp dan makro semakin tajam.

Beberapa cina totok juga terlibat langsung dalam perdagangan kopra. Mereka tinggal menyebar sepanjang pesisir barat dengan mengimpor kain dan menampung kopra. Di daerah-daerah ini terjadi kompetisi yang sehat.

Dua cina totok, Ance Tonga ( Loe Boen Thoeng) dan Ance Poa (Ho Ke Po) yang memiliki hubungan kerabat jauh, bahkan tinggal di Batangmata, yang merupakan daerah basis kekuatan pedagang haji79. Sementara itu di Benteng, menetap saudara dari Go Ke Hong ( meninggal tahun 1930), yakni Ance Honga ( Go Ke Ho) yang bersama sepupu Ance Poa melanjutkan kerja sama dengan Baka Oto.

Harga kopra tidak menunjukkan perkembangan yang berarti selama tahun 1930-an seiring munculnya industri minyak yang besar, Unilever, sebagaimana yang digambarkan oleh Brookfield:

“Bisnis kopra seketika mengalami ketergantungan pada organisasi tunggal, unilever yang merancang pengembangan teknis dalam menggabungkan jenis minyak yang berbeda dari berbagai lemak untuk menekan pembelian dan efisiensi harga produksi82. Faktor penting yang lain adalah pembatasan perdagangan di eropa dan Amerika Serikat yang mencoba mencegah ekspor kopra dari Negara sekutu mereka”83.

Posisi perdagangan kopra yang berbahaya bagi penduduk setempat pada tahun 1930-an ini membuat Pemerintah Belanda tidak sanggup mengembangkan perdagangan kopra di Indonesia Timur walaupun melalui penerapan sentralisasi dan sistem regulasi pembelian.

Pecahnya Perang dunia II kemudian menyebabkan kondisi ini menyebar lebih luas. Pada tahun 1940, ketika tidak mungkin dilakukan ekspor ke Eropa, sebuah pembeli bernama Coprafound muncul. Coprafound mengatur pembelian dan penyimpanan kopra, melakukan standarisasi kualitas dan pengepakan, serta menerbitkan harga kopra secara berkala kepada produsen. Pemerintah Belanda akhirnya memiliki sebuah instrumen untuk mengontrol dan meningkatkan kualitas kopra sesuai keinginan mereka.

Setelah kehancuran akibat pendudukan Jepang antara tahun 1942 sampai 1945, semua kopra yang berasal dari Selayar harus diekspor ke Makassar dan dijamin dengan harga yang stabil. Namun setelah perang, perahu-perahu dari Batangmata dan daratan Sulawesi mulai menyelundupkan kopra ke Surabaya dan ke Singapura karena di kota-kota ini, harga kopra sering lebih tinggi. Di samping itu, coprafound tidak sanggup mengangkut semua kopra yang terkumpul akibat kurangnya kapal uap pasca perang sehingga kopra harus disimpan selama berbulan-bulan di Selayar.

Tidak hanya pemerintah Belanda yang memperkuat peranannya dalam perdagangan kopra setelah masuknya Coprafound, tetapi penduduk setempat di Sulawesi selatan pun menguatkan posisi mereka, saat Coprafound berusaha melemahkan posisi pedagang kopa Cina. Kondisi yang tidak aman akibat pergerakan kemerdekaan memaksa pedagang cina untuk mengalah dan membatasi aktivitas dagang kopra mereka dan beralih menjadi peminjam modal bagi pedagang setempat.

Munculnya Coprafound kemudian membuat penduduk setempat juga tidak bisa menjembatani celah (gap) antara perdagangan Selayar dan Makassar. Mereka akhirnya menempuh cara lain. Papalele Selayar bernama Lihing, misalnya membangun hubungan dekat dengan saudaranya, Muluk sebagai perwakilan di Makassar. Hubungan yang sama dulakukan pedagang kopra asal Mandar, Haji Abdoe Mas’oed Daoed, dengan puteranya yang pulang pergi dari Makassar ke daerah asal mereka, Campalagiang.

Kesimpulan

Sejarah sosio-ekonomi kolonial di Indonesia masih didominasi prespektif eropasentris. Perhatian para sejarahwan masih sering mengikuti perkembangan ekonomi yang dituntun oleh orang-orang Eropa sehingga untuk perdaganghan kelapa dimana orang-orang Eropa tidak banya terlibat, relatif belum dikenal dan hanya digambarkan secara klise sesuasi dengan persepsi Negara-negara kolonial. Hal ini terjadi karena orang-orang Eropa merasa frustasi sebab tidak sanggup mengemabangkan tanaman kelapa menjadi tanaman yang sukses, sementara penduduk setempat dapat mengeksploitasi tanaman ini dan mendapatkan keuntungan yang besar.

Dalam perdagangan kopra, orang-orang Eropa harus bekerja sama dengan orang cina sebagai pedagang perantara, karena pedagang-pedagan cinalah yang mampu mengembangkan jaringan dagang yang luas dan memiliki eksistensi yang bahkan bisa menghalangi orang-orang eropa.

Sebelum periode kopra, perdagangan kelapa susah dimonopoli sampai ketika pedagang haji di Batangmata dan pedagang cina di Padang berkonsentrasi pada perdagangan barang-barang mewah.

Kebangsawanan sangat diuntungkan oleh proses simultan dari eksistensi dan akumulasi perkebunan kelapa, dimana mereka memperkuat hubungan kerja sama perkawanan selama masa-masa booming kelapa dengan mengontrol produksi kelapa, tanaman yang sangat penting bagi status sosial orang selayar.

Ketika kopra menjadi komoditas ekspor, perdagangan kopra terintegrasi secara kuat ke dalam pasar dunia, dan berhasil memimpin terciptanya hirarki komersil terhadap spesialisasi etnik. Ditambah lagi dengan digemarinya kelapa di seluruh dunia, sehingga ini tidak menimbulkan hubungan “mangsa-predator” dalam perdaganngan, tetapi dapat dinikmati oleh level bawah.

Posisi kebangsawanan tidak betul-betul berpengaruh pada periode pertama perdagangan kopra dan beberapa orang bisa sukses sebagai papalele dalam perdagangan kopra. Kebencian melemah ketika semua orang diuntungkan oleh perdagangan kopra, namun berkembangnya kelapa menjadi tanaman tunggal juga merupakan bom waktu. Sementara Pedagang cina di Selayar, walaupun menjadi kaya karena berhasil mengontrol ekspor kopra namun pada umumnya tidak terlibat dalam kepemilikan.

Depresi pada tahun 1930-an di Selayar pun menandai era baru perdagangan kopra. Perdagangan kelapa di Selayar terpecah-pecah. Sebelumnya didominasi oleh cina peranakan, akhirnya digantikan oleh cina totok pendatang baru. Posisi para bangsawan lalu diserang oleh reformis-reformis islam.

Meningkatnya kekuatan kalangan biasa dipicu oleh terjadinya disintegrasi monopoli cina peranakan. Muncul kemudian Coprafound yang memutus hubungan mereka dengan Makassar. Coprafound yang merupakan badan kepercayaan Unilever ini akhirnya membuat orang Eropa mampu mengontrol perdagangan kelapa yang tidak bisa dilakukan sebelumnya.

(Artikel ini diterjemahkan secara bebas dari jurnal : Selayar and The green gold, The development of the coconut trade on an Indonesian Island (1820-1950)

Oleh : Christiaan Heersink, Alih bahasa : Andi Amrang Amir

Penerbit : Cambridge University Press 1994